Depok, 13/11 (Antara) - Indonesia lima tahun lalu masuk dalam 10 besar negara pengakses situs pornografi di dunia maya dan menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika, setiap tahun peringkat tersebut selalu mengalami kenaikan.
Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) saat ini Indonesia sudah menduduki peringkat pertama dalam aktivitas negatif itu.
Ironisnya lagi, di antara para pengakses situs porno itu adalah anak-anak di bawah umur, kata psikolog klinis sekaligus aktivis AIDS, Baby Jim Aditya. "Berdasarkan riset, sebanyak 68 persen siswa SD sudah pernah ikut-ikutan mengakses situs porno," ujarnya.
Salah satu akibatnya, seorang siswa kelas VI sebuah sekolah dasar di Situbondo memperkosa murid taman kanak-kanak setelah dia melihat video porno dalam telepon genggam salah seorang temannya.
Tidak hanya dari internet, konten-konten berbau pornografi juga dengan mudah diakses anak-anak dalam bentuk lainnya, di antaranya komik, permainan, VCD, telepon seluler, dan media massa. Jumlah yang lebih mencengangkan juga terjadi di jenjang SMP dan SMA, yaitu 97 persen siswanya dinyatakan pernah menonton atau melihat konten berbau pornografi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, setidaknya ada 84 laporan pornografi dan pornoaksi hingga yang masuk ke KPAI Oktober 2013 ini. Seluruhnya dilakukan oleh anak-anak dari kalangan pelajar di bawah umur, khususnya di Jakarta.
"Laporan-laporan tersebut terdiri dari pergaulan seks bebas dan kepemilikan media pornografi," ujar Ketua Divisi Pengawasan KPAI, Muhammad Ihsan.
Menurut dia, ada tiga faktor besar yang menyebabkan angka tersebut tinggi. Pertama, pengaruh teknologi informasi yang kuat. Kurangnya filter akan keterbukaan informasi tersebut, merupakah hal fatal. Anak-anak jadi mampu mengakses apa yang tidak boleh mereka akses. "Jadi, tidak heran jika ada anak-anak yang sudah kecanduan seks sedari muda," kata Muhammad Ihsan.
Kedua, pergaulan bebas yang kian marak. Permasalahan ini, katanya, terkait dengan kurang atau tidak adanya pengawasan terhadap anak jika sedang berkumpul dengan teman-temannya. Media pergaulan menjadi gerbang masuk kedua dalam menyebarkan media pornografi dan seks bebas.
Faktor ketiga adalah lemahnya pengawasan dari lembaga keluarga dan lembaga pendidikan. Tidak utuhnya kedua lembaga tersebut dalam memberikan informasi tentang tubuh dan seks menjadikan anak kurang mengerti apa arti hal-hal tersebut. "Itulah kenapa anak-anak, khususnya kalangan pelajar, memiliki rasa penasaran yang tinggi tentang hal tersebut," ujarnya.
Hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terhadap 4.500 remaja mengungkap, 97 persen remaja pernah menonton atau mengakses pornografi dan 93 persen pernah berciuman bibir. Survei yang dilakukan di 12 kota besar itu juga menunjukkan 62,7 persen responden pernah berhubungan badan dan 21 persen di antaranya telah melakukan aborsi.
Hasil survei di atas dikuatkan dengan fakta, puluhan siswa SMP di Bandung, Jawa Barat, telah berprofesi menjadi pekerja seks komersial (PSK). Yang lebih mencengangkan, data yang dihimpun program Save The Children Jawa Barat ini, menunjukkan di antara para PSK remaja tersebut cukup dibayar dengan pulsa telepon selular.
Di Jakarta. data juga menunjukkan, 5,3 persen pelajar SMA pernah berhubungan seks. Ini antara lain akibat orang tua di zaman sekarang seringkali luput memberikan pengawasan serta pendidikan seks yang benar kepada anak-anaknya. "Akibatnya, anak sering kali mencari jawaban dari rasa penasarannya di luar rumah, lalu mencoba-coba," kata Baby Jim Aditya.
Dia berpendapat, pendidikan seks sudah selayaknya diberikan sedini mungkin kepada anak, namun dengan porsi yang sesuai dengan usia mereka.
"Dari hal sepele, mengajarkan anak perempuan untuk buang air kecil di toilet wanita itu saja sudah pendidikan seks. Jadi jangan dibayangkan pendidikan seks itu yang aneh-aneh," katanya menjelaskan.
Di sisi lain, pengendalian pihak-pihak berwenang terhadap beredarnya situs-situs porno di dunia maya juga masih rendah. Terbukti, pada 2007 posisi Indonesia sebagai pengakses situs porno ada di peringkat lima. Namun pada 2009 hingga 2013 ini posisi Indonesia terus merangsek hingga posisi pertama, katanya.
Direktur Pendidikan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam, Nurcholis Setiawan, juga menyatakan keprihatinannya atas sejumlah kasus pornografi yang melibatkan anak usia sekolah.
Menurutnya, hal tersebut terjadi karena ruang anak-anak untuk mengekspresikan diri semakin terbatas.
Oleh karena itu dia mendesak pihak sekolah dan orang tua untuk mengisi waktu luang anak untuk dengan hal-hal yang positif seperti mengikuti berbagai aktivitas ekstra kurikuler, kegiatan riset misalnya, sehingga tidak ada waktu untuk melakukan perbuatan-perbuatan kegiatan negatif.
Makin gawat
Masyarakat di ibu kota kembali dihebohkan oleh beredarnya video mesum siswa salah satu SMP yang tindakan tidak senonohnya itu dilakukan di ruang kelas sekolah saat usai pelajaran sekolah. Aktivitas seks yang direkam tersebut dilakukan tiga kali, yaitu pada 23 September, 25 September dan 9 Oktober 2013.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Rikwanto menyebutkan, dari ;enhamatan atas video mesum tersebut, tidak terlihat adanya paksaan hubungan seksual yang dilakukan kedua oknum pelajar itu, alias suka sama suka.
Begitu juga menurut penuturan saksi pelajar yang menonton dan merekam adegan tersebut, meski orangtua pelaku (yang katanya korban) berkeras bahwa anaknya melakukan hal tersebut di bawah ancaman temannya.
Tampaknya orangtua dan guru yang bertanggung jawab terhadap remaja Indonesia harus waspada bahwa perilaku itu akan terus berulang karena bahaya pornografi mengancam remaja Indonesia.
Di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan pornografi yang dilakukan anak-anak saat ini sudah sangat memprihatinkan dan cenderung meningkat. Menurut Ketua KPAI Daerah Kalsel, Jumri, S.Ag, dari hasil penelusuran ditemukan 75 persen lebih pelecehan seksual baik oleh anak-anak terhadap anak-anak maupun orang dewasa pada anak-anak, adalah akibat tontonan pornografi.
Dia menunjuk contoh kasus sodomi yang dilakukan antara anak-anak beberapa waktu lalu, akibat kebiasaan mereka menonton dan membaca hal-hal yang berbau pornografi. Juga aksi pemerkosaan yang juga dilakukan anak-anak SMP terhadap teman sekolahnya disebabkan seringnya mereka menonton pornografi.
Maraknya kasus pornografi di kalangan pelajar akhir-akhir ini, membuat Pemerintah Kota Palembang menyeru ;penhgelola semua sekolah di sana untuk selalu memantau siswanya dalam menggunakan telepon genggam.
Seruan tersebut menurut Kepala Disdikpora Palembang, Ahmad Zulinto, sudah disosialisasikan kepada seluruh Kepala Sekolah, agar kasus beredaranya video mesum di SMP 4 Jakarta, tidak terjadi di kota Palembang. Sedikitnya, menurut Zulinto, pihak sekolah harus melakukan sidak kepada siswa dua minggu sekali.
"Untuk larangan membawa ponsel belum kita terapkan, karena kadang-kadang alat tersebut mereka gunakan untuk menghubungi orang tuanya. Kemajuan teknologi seperti ponsel bisa memberikan dampak positif dan negatif, tergantung pada pribadi masing-masing dalam menggunakannya," ujarnya.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mendukung kebijakan Dinas Pendidikan yang melarang para siswa membawa ponsel ke sekolah. "Saya kira itu baik, artinya kita tidak mendidik anak bersikap konsumtif. Komunikasi penting, tapi untuk anak SD dan SMP saya kira belum waktunya dapat HP," kata gubernur, yang akrab disapa Jokowi.
Bila orang tua ingin berkomunikasi dengan anaknya saat di lingkungan sekolah, menurut Jokowi, mereka dapat meminta bantuan pihak sekolah seperti menghubungi nomor telepon sekolah. "Kalau ada orang tua yang mau ngomong sama anaknya, mendingan lewat guru saja," kata Jokowi.
Kebijakan larangan membawa ponsel ke sekolah dikeluarkan untuk mencegah penyalahgunaan alat komunikasi tersebut oleh siswa, seperti kasus video asusila di sebuah sekolah di Jakarta.
Penelitian yang dilakukan Ketua Yayasan Kita dan Buah Hati, Elly Risman memperlihatkan, sebagian besar orang tua masih meremehkan fakta bahwa internet adalah perpustakaan pornografi terbesar di dunia yang harus dihindari.
Riset terbaru Norton Online Family 2010 menunjukkan 96 persen anak-anak Indonesia pernah membuka konten negatif di internet.
Parahnya lagi, sebanyak 36 persen orang tua tidak tahu apa yang dibuka anaknya karena pengawasan yang minim. Hanya satu dari tiga orang tua tahu tentang yang dilihat anak-anak mereka ketika buka jaringan internet (online), padahal anak-anak menghabiskan 64 jam untuk online setiap bulan. Sungguh pengawasan orang tua masih sangat memprihatinkan. (E.Z002)
Mengerikan Pornografi Di Kalangan Pelajar
Rabu, 13 November 2013 21:02 WIB 10622