Mantan Kepala Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi (BMBK) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) Bambang Pardede menyebutkan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sumut terhadap dirinya tidak jelas dan kabur.

“Saya merasa lega, karena sejak awal pembacaan dakwaan tidak ada gratifikasi, semua alasan yang memojokan tidak ada bukti. Hanya katanya, didesak, merasa, diperintah,” kata Bambang kepada wartawan usai menjalani sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (3/9).

Dia memastikan bahwa dalam kasus yang menjerat dirinya terkait dugaan korupsi jalan provinsi Parsoburan–Batas Labuhan Batu Utara (Labura) di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), tidak ada dua alat bukti yang sah dan dibuat-buat, seperti waktu, dan lokus.

“Makanya, setelah selesai pembacaan dakwaan, saya tersenyum lebar," ujar dia.

Di luar persidangan, tim kuasa hukum Bambang Pardede, Raden Nuh dan Dian Amalia mengatakan bahwa seharusnya kliennya tidak bertanggung jawab atas dugaan korupsi tersebut. Sebab, Bambang Pardede merupakan seorang pengguna anggaran. 

Raden menjelaskan, bahwa dirinya sangat merasa aneh atas perkara yang menjerat kliennya. Sebab, yang menghitung kerugian negara pada dugaan korupsi tersebut bukanlah dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) melainkan seorang ahli. 

Bahkan, lanjut dia, penghitungan kerugian negara terhadap proyek peningkatan kapasitas jalan provinsi Parsoburan–Batas Labuhan Batu Utara (Labura) di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) baru dilakukan setelah proyek tersebut selesai di tahun 2021.

"Karena itu kita mengajukan eksepsi terkait dakwaan JPU dan berharap agar majelis hakim menerima eksepsi kita," ujar Raden Nuh.

Sebelumnya JPU Kejati Sumut mendakwa Bambang Pardede melakukan korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp5,13 miliar.

“Terdakwa bersama dengan Akbar Jainuddin Tanjung dan Rico Menanti Sianipar (masing-masing berkas terpisah) didakwa melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp5,13 miliar,” kata JPU Putri.

JPU dalam surat dakwaan menyebutkan, kasus dugaan korupsi peningkatan kapasitas ruas Jalan Provinsi Parsoburan-Batas Labuhanbatu Utara-Kabupaten Toba, terdakwa Akbar selaku Direktur PT Eratama Putra Prakarsa (EPP) dan terdakwa Rico selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

“Kasus ini berawal dari Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi Provinsi Sumatera Utara melaksanakan lelang paket pekerjaan peningkatan kapasitas Jalan Provinsi Ruas Parsoburan-Batas Labuhanbatu Utara-Kabupaten Toba,” sebut dia.

Dalam pengerjaan ruas jalan itu, lanjut JPU, pagu anggaran dialokasikan sebesar Rp26,82 miliar yang bersumber dari APBD Sumatera Utara tahun 2021.

"Namun, fakta di lapangan ditemukan bahwa teknis pelaksanaan pekerjaan dilakukan secara manual oleh pekerja PT EPP atau tidak sesuai spesifikasi teknis," sebut Putri. 

Kemudian, kata dia, penyidik Kejati Sumut juga menemukan kekurangan volume pekerjaan atau terjadi perbedaan antara volume pekerjaan dilapangan dengan yang tercantum dalam kontrak kerja, sehingga menimbulkan kelebihan bayar sekitar Rp5,13 miliar.

“Akibat perbuatannya, ketiga terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” kata Putri.

Pewarta: Aris Rinaldi Nasution

Editor : Azhari


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2024