Medan, 21/2 (ANTARA) - Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Sumut, BP Rambe menegaskan, eksportir tetap menolak pemberlakuan "final cek" atau pemeriksaan terakhir bagi barang ekspor yang diberlakukan Balai Besar Karantina Belawan karena menambah biaya.
"GPEI Sumut tidak pernah atau menandatangani kesepakatan bersama yang isinya antara lain menyetujui tarif final cek barang itu dengan PT Samudera Lautan Luas yang ditunjuk sebagai IKT (Instalasi Karantina Tumbuhan) di Belawan," katanya di Medan, Kamis.
Menurut dia, pernyataan itu perlu dipertegas mengingat pengusaha anggota GPEI Sumut maupun asosiasi perusahaan komoditas memprotes adanya pemberitaan dan edaran tentang kesepakatan bersama antara PT Samudera Lautan Luas, asosiasi pengguna jasa Sumut, Ginsi dan GPEI Sumut pada 14 Februari 2013.
"GPEI Sumut yang sah yang diketuai saya tidak pernah menandatangani kesepakatan bersama dengan PT Samudera Lautan Luas itu," katanya didampingi Sekretaris GPEI Sumut, Sofyan Subang.
Sejak awal, tambahnya, pengusaha menolak pemberlakukan final cek yang dinilai rentan dengan keamanan barang ekspor dan menimbulkan biaya tinggi.," Dalam kesepakatan bersama itu disebutkan bahwa untuk anggota ALFI/ILFA atau DPD GPEI DAN BPD Ginsi Sumut diberikan diskon sebesar lima persen dari tarif batas penggunaan fasilitas IKT dengan cara menunjukkan kartu tanda anggota atau surat rekomendasi dari asosiasi tersebut.
Tarif batas penggunaan fasilitas IKT di Pelabuhan Belawan itu sendiri ditetapkan sebesar Rp245.00 untuk satu kontainer 20 feet dan Rp300.000 untuk kontainer 40 feet.
Dalam kesepakatan itu juga disetujui pelaksanaan operasional dan opengaturan kerja teknisnya kepada PT Samudera Lautan Luas.
Padahal seperti yang dikemukan eksportir, pengusaha berharap pemeriksaan barang dikembalikan seperti semula, dimana setelah pemberlakuan pemeriksaan dan fumigasi yang dilakukan dan disaksikan petugas BBKPB (Balai Besar Karantina Pelabuhan Belawan) di gudang, barang ekspor itu langsung dimasukkan ke kontainer untuk kemudian disegel dan dilanjutkan di bawa ke pelabuhan kemudian dikapalkan.
Keberatan itu sudah disampaikan pada acara sosialisasi tentang Permentan No.73/2012 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Penerapan IKT dan pemberlakuan final cek barang ekspor itu pada 4 Februari lalu.
"Sekali lagi saya menegaskan tidak ada membuat kesepakatan karena GPEI mengemban suara pengusaha anggota yang menolak kebijakan itu. Surat bantahan ke Samudera Lautan Luas sudah saya sampaikan 19 Februari,"katanya.
Sebelumnya pada acara sosialisasi Permentan itu, Sadarsah, eksportir kopi Sumut memang menegaskan, dengan cara baru dimana pemeriksaan barang ekspor terakhir dilakukan di depo yang ditunjuk sebagai IKT, bukan hanya mengancam keselamatan dan keamanan barang ekspor tetapi juga menambah biaya tinggi.
Keselamatan dan keamanan barang bisa terjadi di dalam perjalanan dari gudang eksportir atau ekspedisi muatan kapal laut (EMKL) menuju Depo IKT maupun saat pemeriksaan yang dilakukan petugas BBKB di Depo IKT itu.
"Kalau barang dicuri atau diganti/dtukar oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab maupun rusak dalam perjalanan menuju Depo IKT dan saat pemeriksaan petugas BBKPB , siapa yang tanggung jawab,"katanya.
Sedangkan biaya segel pengamanan (seal) yang ditetapkan BBKPB dan IKT dan dana lainnya sebesar sehingga bertotal Rp250.000 -Rp300.000 per kontainer juga menjadi beban biaya pengusaha.
"Tetapi bagi pengusaha yang paling masalah adalah soal keamanan dan keselamatan barang yang terancam itu," katanya.
Pada sosialisais itu, Kepala BBKPB, Azwin Amir, mengaku kebijakan IKT itu merupakan Peraturan Menteri Pertanian.
IKT itu ditetapkan sesuai Permentan, jadi BBKPB hanya menjalankan akreditasi,"katanya mengomentari soal keluhan dan penolakan eksportir atas final cek barang eskpor itu.
Dia mengakui dewasa ini ada dua IKT di Sumut yakni PT.Samudra Lautan Luas khusus untuk barang ekspor dan PT.Catur Batavia Transindo untuk kegiatan impor. ***3*** (T.E016/B/Subagyo/C/Subagyo) 21-02-2013 19:23:03