Medan (ANTARA) - Di tengah upaya agresif pemerintah mengejar target realisasi program tiga juta rumah dan mengejar "Zero Backlog" perumahan, kita dihadapkan pada ironi tragis di lapangan. Program Tiga Juta Rumah yang di gadang-gadang pemerintah kini tersandung oleh batu kerikil bernama SLIK OJK.
Ribuan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), target utama subsid gagal memiliki atap di atas kepala mereka bukan karena ketidakmampuan mencicil rumah, melainkan karena "dosa digital" masa lalu yang nilainya seringkali tidak masuk akal: tunggakan PayLater atau sisa biaya admin dompet digital senilai ratusan ribu rupiah.
Ini bukan sekadar asumsi, melainkan fakta statistik yang mengkhawatirkan dari garda terdepan perumahan rakyat, perbankan dan pengembang. Bahkan sinyal keras dari perbankan telah berbunyi terutama dari Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai pemimpin pasar KPR subsidi telah membunyikan alarm ini berulang kali.
Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu dalam berbagai kesempatan mengungkapkan fakta pahit: sekitar 30 persen aplikasi KPR subsidi terpaksa ditolak karena masalah SLIK OJK.
Nixon Napitupulu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR, membahas pengajuan KPR zaman dahulu yang sering ditolak akibat kartu kredit.
Namun saat ini, alasan penolakan justru lebih sering disebabkan oleh pengaruh pinjaman daring. "BI Checking sekarang makin seru. Dulu KPR ditolak karena kartu kredit, kini karena pinjaman daring.
"Sekarang sudah 30 persen yang ditolak karena pengaruh aplikasi (pinjol), BI Checking-nya gagal karena pinjol," jelas Nixon.
Program tiga juta rumah yang diemban oleh Kementerian Perumahan dan Pemukiman terancam gagal dikarenakan kebijakan tersebut belum mendapatkan solusi yang nyata.
Untuk mengatasi hal tersebut, berdasarkan pemberitaan media nasional Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) bertemu Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK.
Hadir pula lima asosiasi pengembang yaitu REI, APERSI, APPERNAS JAYA, ASPRUMNAS, dan HIMPERRA. Pertemuan tersebut berlangsung di kantor OJK Jakarta, akhir Juli lalu.
Pertemuan itu membahas penyelarasan kebijakan SLIK untuk mendukung percepatan realisasi kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Bayangkan besarnya angka tersebut. Jika ada 100.000 keluarga MBR yang berjuang mengajukan rumah, 30.000 di antaranya harus pulang dengan tangan hampa. Mayoritas penyebabnya adalah tunggakan pinjaman online (Pinjol) dan PayLater dengan nominal di bawah Rp2.000.000, bahkan banyak yang di bawah Rp500.000.
Sistem perbankan saat ini "buta" dalam membedakan karakter utang. Sistem menyamakan kegagalan membayar cicilan panci atau pulsa di aplikasi e-commerce dengan ketidaklayakan membayar cicilan rumah jangka panjang.
Padahal, secara psikologis dan finansial, komitmen orang untuk mempertahankan tempat tinggal jauh lebih tinggi daripada membayar utang konsumtif.
Menghukum calon debitur KPR puluhan tahun hanya karena kelalaian minor masa lalu adalah bentuk disproporsionalitas penilaian risiko.
Jika perbankan melihat ini sebagai risiko, para pengembang yang tergabung dalam asosiasi seperti REI (Real Estat Indonesia), APERSI (Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia), dan HIMPERRA (Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat) melihat ini sebagai kiamat industri.
Data dari HIMPERRA lebih spesifik menyoroti bahwa setidaknya ada 30.000 calon pembeli potensial dari segmen MBR yang "gugur" dalam verifikasi bank akibat skor kredit yang buruk, padahal secara cashflow gaji mereka mampu mencicil.
Sementara itu, APERSI kerap mengeluhkan bahwa tingkat pembatalan konsumen akibat SLIK OJK di beberapa daerah bisa mencapai 40 persen.
Dampaknya dari menciptakan efek domino yang mengkhawatirkan semisal stagnasi suplai yaitu pengembang ragu membangun unit baru karena tingkat penyerapan pasar terhambat regulasi, bukan karena tidak ada permintaan.
Selain itu "backlog" yang awet dengan angka itu perumahan yang masih bertengger di kisaran 12,7 juta unit, menolak puluhan ribu pengajuan setiap bulan karena alasan administratif sama saja dengan memelihara angka backlog tersebut.
Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menandatangani PP Nomor 47 Tahun 2024 tentang penghapusan piutang macet bagi UMKM.
Semangat "pemutihan" ini harus segera diadopsi secara teknis oleh OJK untuk sektor perumahan subsidi. Kita membutuhkan aturan pengecualian (diskresi) yang jelas, misalnya threshold nominal pengecualian otomatis untuk catatan kredit bermasalah kol 3-5 dengan nilai outstanding di bawah Rp1 juta dengan kondisi sudah dilunasi.
Karakteristik utang yang membedakan antara utang produktif yang macet dengan utang konsumtif bernilai kecil (PayLater dan sejenisnya).
Jalur Khusus MBR seperti sertifikasi kelayakan dari pengembang atau asosiasi (REI/APERSI/HIMPERRA) bahwa konsumen memiliki kapasitas bayar, yang bisa menjadi second opinion bagi bank selain data SLIK.
Membiarkan masyarakat kecil terpinggirkan dari akses perumahan hanya karena sisa utang digital seharga seporsi makanan adalah ketidakadilan sistemik.
Ketika Bank BTN sudah berteriak soal angka penolakan 30 persen dan asosiasi pengembang mengeluhkan ribuan unit yang tak terserap, pesannya jelas: Sistem SLIK kita terlalu kaku untuk realitas ekonomi rakyat kecil.
OJK dan perbankan harus segera merevisi parameter ini. Jangan sampai impian rakyat memiliki rumah hancur hanya karena mereka pernah lupa membayar tagihan belanja online tiga tahun lalu.
***Penulis adalah Dendi Riyadi Utomo sebagai Mahasiswa Pascasarjana Universitas Paramadina***
