Tapanuli Selatan (ANTARA) - Selasa, 25 November 2025, seorang anggota IKAPSI Tabagsel mengirimkan sebuah video banjir di Sipirok melalui WhatsApp. “Bang Raja, Sipirok banjir,” tulisnya singkat. Saya membuka video itu pelan-pelan, menyimaknya berulang-ulang, dan tanpa sadar mata saya mulai berkaca-kaca. Saya yakin, banyak yang merasakan hal yang sama—terutama mereka yang lahir, tumbuh, dan menghabiskan masa kecil di Sipirok.
Sepanjang hidup saya di Sipirok—sejak lahir sampai SLTA, sekitar 66 tahun lalu—saya tak pernah sekalipun mendengar kota ini dilanda banjir. Orang-orang tua kita, oppung-opung kita, pun tak pernah bercerita bahwa Sipirok pernah mengalami bencana semacam ini. Maka ketika video itu muncul, rasanya seperti melihat sesuatu yang tak mungkin terjadi di tempat yang kita cintai.
Yang paling menyayat hati adalah kabar bahwa banjir kali ini merenggut korban jiwa. Seorang pria berusia di atas 70 tahun hanyut terbawa air bah deras yang turun dari arah Masojid Lombang. Alhamdulillah, jasad beliau akhirnya ditemukan di Sibadoar. Namun duka itu tetap terasa dalam.
Hujan turun tanpa henti sejak Minggu. Angin berembus kencang—berputar seperti puting beliung—hingga beberapa atap rumah terbang tersapu. Menurut Ketua DPD IKAPSI Tabagsel, Drs. Maas Siagian, banjir bermula dari kawasan Masojid Lombang. Air meluap, keluar dari bondar, melimpah ke jalan dan kemudian menggenangi banyak titik lain. Tipa-tipa ikut terendam hingga tiga ruko tergenang. Di Purbatua pun muncul air bah, meski syukurnya tanpa korban jiwa.
“Hujannya deras dua hari ini. Anginnya juga sangat kencang. Tapi kalau hujan reda, air biasanya cepat surut,” kata Maas Siagian—yang juga anggota DPRD Tapsel dari Partai Nasdem—dalam koordinasi lewat video call bersama DPP IKAPSI Pusat, Rabu pagi.
Dalam rapat singkat tersebut, disepakati bahwa Maas Siagian dan tim dari Sipirok menjadi koordinator lapangan untuk membantu warga terdampak, sementara dari DPP Jakarta ditunjuk Putra Nabasa Siregar.
Banjir memang sulit diprediksi. Ia datang seperti tamu yang tidak mengetuk pintu—tiba-tiba sudah berada di ruang tamu kita. Dan setiap musibah adalah peringatan, terutama bagi warga Sipirok dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan. Sipirok kini adalah ibu kota Tapsel; pembenahan harus dilakukan secara lebih serius, menyeluruh, dan tidak menunggu korban berikutnya.
Mumpung kita masih diberi waktu. Seperti syair Ebiet G. Ade:
“Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita,
Atau alam mulai bosan bersahabat dengan kita.
Mari kita tanya pada rumput yang bergoyang.”
Tidak perlu saling menyalahkan. Ambil hikmahnya. Alam Sipirok yang damai dan sejuk kini tersentuh luka, tapi kita masih bisa saling menggenggam tangan—berdoa, membantu, dan berdonasi untuk saudara-saudara kita di Sipirok.
Ya Allah, ya Tuhan… Sipirok oh Sipirok. Semoga ini menjadi banjir pertama dan terakhir bagi bumi kelahiran kita.
Penulis Ketua DPP IKAPSI Pusat/Wartawan Senior
Raja Parlindungan Pane
