Surabaya (ANTARA) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah mencatat ada 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah atau disebut calon tunggal pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024.
Total 41 daerah itu, terdiri dari satu provinsi, 35 kabupaten, dan lima kota. Artinya pasangan-pasangan yang ada tersebut akan melawan "kotak kosong" dalam istilah demokrasi kekinian.
Tidak adanya lawan pada pelaksanaan Pilkada serentak 2024 telah memunculkan banyak asumsi dari pengamat dan akademisi. Hal itu wajar terjadi, karena dinamika dari setiap kejadian yang ada selalu menimbulkan makna-makna bias serta subjektivitas yang bersifat sementara.
Ada yang berpendapat, munculnya calon tunggal disebabkan kemunduran demokrasi di sejumlah daerah, sehingga menyalahkan partai politik yang gagal memunculkan tokoh untuk berkompetisi dalam pilkada.
Ada pula yang menyebut munculnya kotak kosong dikarenakan ongkos politik yang mahal dalam mengikuti kontestasi pilkada, sehingga perlu modal besar untuk ikut dalam kompetisi tersebut.
Meskipun demikian, ada atau tidaknya lawan salah satu calon di satu daerah perlu disikapi dengan bijak, karena daerah-daerah di Indonesia selalu memiliki sisi keunikan tersendiri dalam menyikapi dinamika politik, budaya, serta peristiwa.
Kita tetap yakin dan optimistis bahwa keberadaan calon tunggal melawan kotak kosong di sebuah daerah akan memunculkan solusi-solusi kreatif.
Dari fenomena ini, di obrolan santai warung-warung kopi muncul gurauan (guyonan), yakni mungkin saja pemangku kebijakan lokal akan mengganti kotak kosong itu dengan kotak amal, kotak saran, atau kotak-kotak lainnya, sehingga tidak akan mubazir.
Keberadaan calon tunggal pada pilkada sebenarnya juga sudah terbiasa terjadi, sebab pada beberapa pemilihan kepala desa juga ada hal demikian, dan biasa disebut dengan melawan "bumbung kosong".
Selain itu, keberadaan calon tunggal ini sebagai bentuk kejujuran partai politik (parpol) kepada publik bahwa parpol tidak basa basi dengan berusaha memunculkan pasangan calon yang asal-asalan, supaya si calon tunggal terlihat ada lawannya.
Calon tunggal yang muncul juga bisa diasumsikan bahwa masyarakat di daerah tersebut sudah percaya dan yakin pada pemimpin mereka sebelumnya, termasuk dengan pembangunan yang telah ditorehkan oleh pemimpin itu selama ini, terbukti mayoritas calon tunggal yang ada dan melawan kotak kosong tersebut adalah petahana.
Artinya, pemimpin-pemimpin saat ini telah mampu mengakomodir kepentingan masyarakatnya, sehingga bangsa ini secara keseluruhan telah mengalami kemajuan dalam hal kepemimpinan. Dengan kata lain, calon tunggal ini tidak mengurangi makna demokrasi karena pemilih tetap memiliki pilihan lain di luar calon yang tampil.
Kita mengetahui bahwa tidak ada pemimpin di manapun yang sempurna. Setidaknya dengan munculnya calon tunggal pada pilkada tidak lantas membuat si calon jumawa dan optimistis melenggang menang dalam kompetisi pilkada, sebab masyarakat Indonesia saat ini pun semakin cerdas dalam berpolitik.
Ketika seorang pemimpin memiliki rasa jumawa, sombong, dan acuh dalam mengakomodir suara rakyat, meski berstatus calon tunggal, bisa jadi tidak akan terpilih atau tidak akan semulus yang dibayangkan dalam memenangi kompetisi pilkada.
KPU juga telah mengantisipasi fenomena munculnya calon tunggal dan telah membahas skema jika kotak kosong menang dalam pertarungan Pilkada 2024 di 41 daerah.
Skema itu, yakni tidak akan ada pengundian nomor di surat suara, dan dalam surat suara yang ada, hanya gambar pasangan calon berdampingan dengan kotak kosong untuk dicoblos. Dan jika hasilnya kotak kosong yang menang, diputuskan untuk dilakukan pilkada susulan atau lanjutan yang akan dilakukan pada tahun 2025.
Skema itu dimasukkan dalam Peraturan KPU bahwa berdasarkan rekapitulasi dan penetapan, jika kotak kosong menang, maka pilkada selanjutnya tidak dilaksanakan lima tahun setelah itu, melainkan satu tahun berikutnya.
Kemudian, tahapan pilkada susulan nantinya akan dipertimbangkan kembali dan dibuatkan simulasi oleh KPU. Sementara pada pembiayaan akan dibebankan pada APBD.
Artinya, banyak skema atau solusi yang sudah disiapkan pada pelaksanaan pilkada dengan lawan kotak kosong.
Karena itu, sikap pesimistis menyikapi keberadaan calon tunggal dalam pilkada sepatutnya tidak terlalu dibesar-besarkan, karena pilkada adalah bagian dari pendidikan demokrasi yang harus terus berjalan, agar bangsa ini semakin cerdas dalam berdemokrasi.
Pesta ekonomi
Upaya mempersoalkan pelaksanaan pilkada yang hanya diikuti calon tunggal karena menganggap sia-sia, sepatutnya juga perlu dipikir ulang, karena banyak sisi di luar politik yang diuntungkan dengan berjalannya pilkada.
Pilkada akan memasuki tahapan masa kampanye pada 25 September hingga 23 November 2024, dan dilanjutkan dengan pemungutan suara pada 27 November.
Kita ketahui bersama bahwa dalam pilkada ini juga ada pesta ekonomi, dimana para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) mendapat efek untuk mengumpulkan rupiah, seperti yang dialami salah satu usaha konveksi di Surabaya.
Menjelang Pilkada 2024, pesanan sablon kaos di tempat usaha konveksi tersebut meningkat hingga lima kali lipat, yakni dari rata-rata 200 lembar per hari menjadi 1.000 lembar.
Ini menunjukkan banyak sisi menarik dan memberi manfaat bagi warga dari pelaksanaan Pilkada 2024, termasuk di Kota Pahlawan yang juga hanya diikuti calon tunggal, yakni calon petahana.
Di sisi lain, pilkada adalah proses yang setelahnya meninggalkan warisan di luar bentuk materi, yakni pendidikan politik.
Dengan berjalannya pilkada yang rutin, masyarakat akan semakin pintar dalam memilih pemimpinnya untuk menuju kepemimpinan berkelas dunia. Indonesia adalah bangsa besar, yang tentunya banyak memiliki potensi kepimpinan dunia dan pemimpin cerdas selalu lahir dari masyarakat dan bangsa yang cerdas pula.
Calon tunggal adalah perwujudan demokrasi juga. Mari kita sambut dengan riang dan tetap menjaga persaudaraan sesama anak bangsa.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Calon tunggal tidak mengurangi makna demokratis pilkada