Medan (ANTARA) - Pengurus Besar Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (PB MABMI) mendesak Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, yang sudah 14 tahun tertahan di DPR.
"Kami mendesak Pemerintah dan DPR membahas kembali Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Adat dan segera mengesahkannya menjadi undang-undang," kata Wahid Khusairy membacakan hasil rekomendasi Rapat Kerja Nasional (Rakarnas) PB MABMI di Berastagi, Sumatera Utara, Sabtu (24/8).
Selang 2 hari pelaksanaan rakernas yang dihadiri pengurus MABMI seluruh Indonesia, Senin, Ketua Umum PB MABMI Prof.Dr. O.K. Saidin, S.H., M.hum. menegaskan bahwa keberadaan UU Masyarakat Adat sangat penting saat ini, mengingat terjadinya banyak sengketa pertahanan yang tidak terselesaikan.
Prof. Saidin lantas mencontohkan kasus di Sumatera Utara, mengenai eks tanah-tanah konsesi masyarakat adat yang diambilalih oleh perusahaan negara dan swasta, termasuk di Rempang, Kepulauan Riau, dan di berbagai wilayah di Kalimantan.
Ia menandaskan bahwa tidak ada alasan DPR dan Pemerintah menahan RUU Masyarakat Adat karena undang-undang ini merupakan perintah konstitusi. Pada Ayat (2) Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 sangat tegas menyebutkan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang.
"Jadi, perintah UUD NRI Tahun 1945 itu jelas dan tegas. Oleh karena itulah, kami mendesak DPR dan Pemerintah mengesahkan RUU Masyarakat Adat," ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini di Medan.
Undang-Undang Masyarakat Adat atau Masyarakat Hukum Adat telah dibahas sejak 2003. Draf RUU dan naskah akademiknya dirumuskan pada tahun 2010. Namun, hingga kini setelah 14 tahun, nasib draf RUU tersebut tidak jelas nasibnya.
Menurut dia, penguatan masyarakat adat tersebut ada disinggung dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Akan tetapi, UU ini tidak segera bisa menjawab tuntutan masyakarat adat karena tidak terealisasi melalui peraturan daerah di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten.
Prof. Saidin merasa heran atas terhentinya pembahasan RUU Masyarakat Adat selama 14 tahun. Padahal, undang-undang lain dapat diselesaikan Pemerintah dan DPR begitu cepat.
"Terkatung-katungnya RUU ini berakibat munculnya berbagai sengketa tanah, yang tidak terselesaikan berdasarkan undang-undang," ujarnya.
Founding fathers bangsa ini, kata dia, ketika membuat UUD NRI Tahun 1945, sadar sekali peran besar masyarakat adat dalam pembentukan NKRI. Oleh karena itu, para pendiri bangsa ini mencantumkan Pasal 18 dalam UUD NRI Tahun 1945, yang isinya mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Setiap upacara nasional 17 Agustus, Presiden, Ketua DPR RI, menteri kabinet, dan tokoh-tokoh nasional mengenakan pakaian adat berbagai etnis. Namun, menurut Prof. Saidin, RUU Masyarakat Adat tidak disahkan setelah tertahan 14 tahun.
"Pakaian adat tentu baik, tetapi jangan sekadar aksesori tahunan. Saatnya DPR dan Pemerintah lebih serius menghormati dan mengakui masyarakat adat yang diperintahkan konstitusi," tegasnya.
PB MABMI, menurut OK Saidin, bersedia memberikan masukan kepada DPR dan Pemerintah untuk lahirnya undang-undang yang telah lama dinantikan ini. "Sebagai majelis adat budaya Melayu Indonesia, kami senantiasa siap membahas soal penting bagi kepentingan bangsa dan rakyat ini," kata Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum FH USU tersebut.
Desakan agar RUU Masyarakat Adat ini juga disampaikan Dr. Sri Endah Kinasih, S.Sos, M.Si. Pakar Antropologi Hukum Universitas Airlangga Surabaya ini berpendapat bahwa belum adanya pengesahan RUU ini karena Pemerintah tidak memahami pentingnya isu masyarakat adat.
"Masyarakat adat dianggap kuno. Padahal, masyarakat adat punya nilai-niliai religi magis yang mereka pertahankan. Itu yang tidak dipahami oleh pemerintah," ujar Sri Endah dalam wawancara eksklusif Unair News, Kamis (25 Januari 2024).
Menurut Sri Endah, tidak kunjung disahkannya RUU ini memberi kesan bahwa negara seolah-olah menggusur kepentingan masyarakat adat. Seharusnya pembangunan dilakukan dengan proses dialog ke bawah (masyarakat adat). Tidak hanya berlandaskan kepentingan negara.
"RUU ini menjadi jalan satu-satunya negara untuk memahami masyarakat adat. RUU tidak jalan karena ya tokoh adat, agama, ahli tidak dilibatkan," katanya.
Menurut Dr. Endah, perlu ada keterlibatan tokoh-tokoh adat dan agama dalam pelegalan RUU. "RUU ini menjadi jalan satu-satunya negara untuk memahami masyarakat adat. RUU tidak jalan karena ya tokoh adat, agama, ahli tidak dilibatkan," tegasnya.
Kepentingan negara, lanjutnya, seolah-olah menggusur kepentingan masyarakat adat. Seharusnya pembangunan dilakukan dengan proses dialog ke bawah (masyarakat adat). Tidak hanya berlandaskan kepentingan negara.
"Konsep seperti ini yang harus dimengerti oleh Pemerintah, tidak hanya bangun sini, bangun sana, ganti rugi sini, ganti rugi sana. Tidak seperti itu," katanya.