Jakarta (ANTARA) - Tindak kekerasan dan penganiayaan mewarnai wajah dunia kriminalitas yang disuguhkan pada pemberitaan di berbagai media.
Dalam beberapa kasus, tindak kekerasan ini dipicu oleh aktivitas di media sosial yang terjadi akibat kurangnya pemahaman tentang literasi digital.
Dalam beberapa kasus, para korban dan pelaku tindak kekerasan tersebut ternyata merupakan anak-anak.
Terbaru, kasus penganiayaan dengan pelaku dan korban anak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Tiga pelaku berinisial RES (15 tahun), DAH (17), dan MRS (15) menganiaya dua korban, yaitu A (17) dan korban sekaligus saksi MF (17).
Kasus bermula dari berbalas komentar di media sosial yang berujung pada perkelahian dengan menggunakan senjata tajam.
Peristiwa penganiayaan terjadi di Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, pada Kamis (29/6) pukul 00.30 WIB.
Akibat kejadian tersebut, A dan MF mengalami luka akibat terjatuh dan terkena senjata tajam.
Dalam kasus ini, barang bukti yang disita polisi, di antaranya satu celurit, sebilah samurai, dan satu gunting rumput yang diubah menjadi pisau.
Kasus lainnya adalah penganiayaan terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang berujung tewas di Kabupaten Lebak, Banten, pada awal Juni 2023. Pelaku berinisial MA (14), AD (13), MI (15), dan HB (13).
Dua anak dari keempat pelaku telah putus sekolah karena berasal dari keluarga yang kurang mampu, sedangkan dua lainnya masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar (SD). Mereka menganiaya ODGJ, bahkan membakarnya hingga tewas.
Kasus ini bermula ketika korban ODGJ yang juga memiliki keterbatasan dalam bicara dan mendengar, melempari salah satu pelaku dengan batu hingga mengenai punggung dan motor korban.
Karena kejadian itu, pelaku kesal dan mengajak teman-temannya untuk membalas korban.
Digital parenting
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga mengatakan setiap anak seharusnya mendapatkan pendampingan dan pengasuhan terbaik dari orang tuanya.
Terlebih saat ini kita memasuki era globalisasi dan era digitalisasi yang membuat anak-anak membutuhkan pengawasan ekstra.
Banyaknya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi tidak lepas dari pengaruh konten-konten media sosial yang dengan mudah dapat diakses oleh anak-anak.
Terjadinya kasus penculikan dan pembunuhan anak di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, pada awal Januari 2023, juga merupakan dampak dari konten-konten media sosial yang dilihat anak tanpa pendampingan orang tua.
Ketika mutilasi yang dilakukan oleh anak, menjual organ tubuh itu terinspirasi dari media sosial yang mereka dapatkan. Setelah temannya dibunuh, kemudian dimutilasi, setelah itu pelaku tidak tahu mau dijual ke mana.
Untuk itu, kehadiran orang tua menjadi pengawas terdekat anak sangat penting dalam memberikan pendampingan terbaik bagi anak.
Kementerian PPPA mengingatkan bahwa anak yang menjadi pelaku tindak kriminal itu sebenarnya sekaligus merupakan korban. Untuk itu, kita semua, para orang dewasa, harus hadir memberikan pendampingan yang terbaik kepada anak-anak.
Sementara sepanjang tahun 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 5.980 pengaduan dan pada 2022 ada 4.683 pengaduan terkait masalah anak, di antaranya termasuk perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak.
Wakil Ketua KPAI Jasra Putra menyebut saat ini ada banyak kekerasan yang mengintai anak-anak di internet, seperti cyber-bullying, grooming, sextortion, dan pornografi anak.
KPAI juga menyoroti pentingnya para orang tua untuk memahami digital parenting agar meningkatkan efektivitas pengawasan anak di media sosial.
Tak hanya orang tua yang harus memahami digital parenting, anak-anak juga harus diberikan pemahaman tentang cara berselancar di internet yang sehat dan tidak mengancam diri sendiri.
Dari pengalaman KPAI melihat berbagai hasil asesmen dalam persoalan anak, penyebab anak berada dalam pusaran konflik, berhadapan dengan hukum, berkonflik dengan hukum, terancam jiwanya dan mengalami disorientasi akibat perlakuan salah, adalah karena tidak terpenuhinya hak-hak mereka terkait kebutuhan tumbuh kembang yang seharusnya mereka dapatkan.
Penyebabnya adalah akibat kurang perhatian, kehilangan figur yang dipercaya, yatim piatu, putus sekolah, bahkan meski sekolah, tapi kondisi belajarnya sudah tidak terperhatikan.
Penyebab lainnya, orang tua bercerai, konflik berkepanjangan, kemiskinan, terlepas dari pengasuhan, berpindah-pindah pengasuhan, berselancar di internet tanpa pengawasan, dan banyaknya industri kekerasan yang dengan mudah mendekati anak dengan berbagai cara.
Masalah paling hulu dari kondisi ini adalah anak-anak yang sangat minim dikenalkan cara berpartisipasi dalam menghadapi persoalan di sekitarnya.
Yang dimaksud di sini adalah partisipasi yang bermakna, yang dipahami sesuai usia, tumbuh kembang, dan pemahaman anak.
Untuk itu, perlu didorong ruang-ruang dialog keluarga agar selalu dihidupkan, sehingga anak-anak memiliki kecerdasan emosional dalam menghadapi masalah.
Tanggung jawab bersama
Anak memiliki tiga lingkungan dalam hidupnya, yakni keluarga, sekolah, dan lingkungan.
Ketika satu lingkungan saja tidak berfungsi dalam membangun kedekatan, kelekatan, pengawasan bersama, dan monitoring, maka anak akan sangat rentan berada dalam perlakuan salah.
Oleh sebab itu, peran besar pengasuhan bersama menjadi sangat penting, karena mengurus anak membutuhkan orang sekampung untuk ikut mengawasi.
Selain itu, keterbatasan yang ada dapat diatasi dengan penyediaan fasilitas publik yang dapat mendukung tumbuh kembang anak dan adanya tempat pusat aktivitas anak yang dapat secara kondusif, merekam, dan memantau perkembangan anak-anak.
Kita menyadari bahwa akses internet sangat dibutuhkan oleh masyarakat, namun hal tersebut juga harus diimbangi oleh tingkat literasi digital masyarakat yang memadai.
Tindak kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak ataupun yang menjadikan anak-anak sebagai korban merupakan akibat dari kurang pahamnya orang tua terhadap cara yang aman dalam menggunakan internet.
Perlu kerja sama semua pihak untuk meningkatkan literasi digital masyarakat guna memerangi kekerasan terhadap anak dan memastikan hak-hak anak terpenuhi demi tercapainya Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2045.
Masa depan Indonesia ditentukan oleh mereka yang masih berusia anak-anak saat ini, sehingga mereka harus dilindungi dari berbagai pengaruh negatif, sesuai dengan tema Hari Anak Nasional 2023 yaitu "Anak Terlindungi, Indonesia Maju".
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Lindungi anak dari kekerasan, orang tua perlu melek digital parenting