Jakarta (ANTARA) - Praktisi Mindfulness dan Emotional Healer Adjie Santosoputro mengingatkan bahwa seseorang perlu berhati-hati terhadap jebakan pahit dari berpikir positif atau toxic positivity dan lebih menyadarinya dari sudut pandang kesadaran penuh (mindfulness).
“Di awal perjalanan, kita perlu berlatih berpikir positif daripada kita berpikir negatif. Tetapi kita cenderung seolah-olah selalu memberi gula [terhadap berpikir positif] dan itu malah berbahaya karena kita tidak mempersiapkan worst case-nya, kita optimis bias,” kata Adjie dalam diskusi "World Mental Health Day: 24 Hours" yang diadakan oleh Mental Health Matters di platform Clubhouse pada Minggu (10/10).
Baca juga: Alhamdulillah, tiga hari terakhir Tapsel nihil terpapar COVID-19
Ia mengatakan pada dasarnya seseorang hanya perlu melatih untuk menyadari pikiran saja, bukan malah mengendalikan pikiran, baik itu pikiran positif maupun pikiran negatif. Menurutnya, dikotomi antara pikiran positif dan negatif hanyalah permainan pada ranah “think” atau “thought” yang bersifat sekejap dan akan segera berlalu.
“Berpikir (think) dan kesadaran (awareness) itu sesuatu yang berbeda. Selama kita masih terjebak dalam "thinking", kita akan terus saja berkelahi antara pikiran positif dan negatif, atau optimis-pesimis. Untuk lebih sehat dari sudut pandang mindfulness, kita ambil jarak dengan think dan thought itu,” ujarnya.
Adjie mengatakan perasaan sedih yang dialami orang lain dapat memicu ketidaknyamanan pada diri sendiri sehingga seseorang menjadi cenderung untuk mengajak dan menarik orang lain agar menjauhi perasaan sedih hingga tidak menyadari dirinya dapat terjebak dengan pikiran positif yang beracun (toxic positivity).
“Oleh karena itu, agar mengurangi kemungkinan kita untuk menjadi pelaku toxic positivity harus dimulai dari diri kita sendiri. Kita perlu berlatih menerima rasa sedih dengan cara berlatih be mindful to our sadness, jadi embrace the sadness,” katanya.
Ia mengatakan perasaan sedih tidak seharusnya dibenci dan dihindari, baik itu rasa sedih yang dialami oleh diri sendiri maupun orang lain. Dengan begitu, seseorang akan lebih bijak untuk memberi ruang kepada perasaan sedih serta tidak tergesa-gesa untuk menuntut dan mengubah perasaan itu dengan perasaan gembira.
“Sedih itu tidak sepenuhnya buruk. Dalam obrolan kesehatan mental, rasa sedih, kecewa, dan marah, itu ada kalanya perlu diberi ruang di dalam diri kita agar dia bisa dicerna oleh diri kita,” ujarnya.
Adjie juga mengingatkan bahwa perasaan kegembiraan dan kebahagiaan merupakan dua hal yang berbeda. Sebagai contoh, orang kerap menyangka bahwa kesuksesan secara material yang selalu dikejar dalam hidup diasosiasikan sebagai kebahagiaan, padahal sebetulnya itu adalah kegembiraan.
“Kegembiraan itu ketika kita mendapatkan yang kita inginkan, sedangkan kebahagiaan itu lebih ke rasa berkecukupan. Dan karenanya happy is about letting go,” tutur Adjie.
Dari sudut pandang mindfulness, kata Adjie, kebahagiaan sejatinya sudah tersedia di dalam diri manusia dan tak perlu susah payah mencari-cari kebahagiaan sejauh mungkin. Ia menekankan yang perlu dilakukan hanyalah menyadarinya saja.
“Menurutku, keindahan dari mindfulness adalah yang aku rasakan, hanya dengan menyadari itu saja maka pelan-pelan ketegangan batin di dalam diri kita menjadi mereda, dan di situlah malah kita akan mengalami proses healing atau kesembuhan,” katanya.