Medan (ANTARA) - Kejayaan industri perkebunan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran yang amat penting dari sejarah perkebunan di Kota Medan dan Sumatera Utara.
Bahkan pada masa sekitar abad ke 18 dan 19, industri perkebunan dari Kota Medan menjadi penyumbang terbesar pembangunan di Indonesia.
Bahkan secara historis, hasil perkebunan di kota Medan telah banyak mendukung aktivitas kolonial Belanda. Sayangnya, pada masa saat ini tidak banyak lagi hiasan prestasi yang ditunjukkan Kota Medan sebagai Kota Metropolitan.
Dan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap branding kota dan tidak menunjukkan adanya ke arah perkembangan kesejahateraan warganya.
Demikian benang merah yang dapat disimpulkan dari acara peluncuran sekaligus bedah buku berjudul “Medan, Pasang Surut Peradaban Kota Perkebunan” yang ditulis Ketua Dewan Redaksi Media Grup Usman Kansong.
Baca juga: Dekan FISIP USU: Pembangunan SDM kunci tingkatkan peradaban Indonesia
Acara daring yang dipandu presenter MetroTV Yohana Margaretha ini memaparkan bagaimana buku yang ditulis mantan Direktur Pemberitaan Media Indonesia pada saat di tengah pandemi Covid-19.
“Ini berkah pandemi Covid-19. Penulisnya berhasil melakukan riset dan kontemplasi sehingga memiliki analisa yang dalam,” kata Dekan FISIP USU Muryanto Amin yang bertindak selaku pembedah buku.
Dalam paparannya, Usman Kansong mengatakan bahwa dirinya memerlukan waktu sekitar tiga bulan untuk menyelesaikan buku ini.
Menurutnya, tujuan ditulisnya buku ini adalah melakukan pendidikan politik dalam rangka memicu para penulis lain, khususnya kalangan sejarawan untuk menulis buku lain tentang Medana dari berbagai persfektif dan berbagai isu.
“Yang menarik dari buku ini adalah bagaimana deskripsi Medan yang memotret perilaku manusianya. Dimana Medan dikenal sebagai miniaturnya Indonesia karena terdiri dari multi etnik. Karena itu sebutan Medan adalah negeri berbilang kaum,” kata Usman.
Banyaknya etnik di Medan, tuturnya, tidak lepas dari sumber daya alam perkebunan sehingga Medan pernah dijuluki sebagai ‘kota dolar’. Medan ibarat gula yang dikerubuti ribuan semut.
Sehingga muncullah perusahaan-perusahaan perkebunan yang dimiliki oleh asing.
“Karena banyaknya perkebunan asing, maka benang merah dari buku saya ini adalah banyaknya muncul preman dan munculnya politik identitas.
Karena adanya segregasi (pembagian kelompok pemukiman) pada jaman kolonial Belanda,” jelasnya.
Sementara itu, Dekan FISIP USU Muryanto Amin, menyayangkan banyaknya kemunduran yang dialami kota Medan saat ini.
“Yang selalu menjadi pertanyaan hampir semua orang di Medan adalah mengapa sebutannya sebagai kota Metropolitan Kota Medan tidak mampu menjadi contoh sebagai kota yang memberikan kesejahteraan hidup yang baik bagi warganya maupun bagi para tamunya (pendatang),” kata Muryanto.
Menurut dia, Kota Medan cenderung lebih ‘slow’ pembangunan insfrastrukturnya dan pembangunan manusianya dibandingkan dengan kota lainnya seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, Padang, dan lainnya.
“Buku Bang Usman ini berhasil meng-capture yang dapat memantik para sejarahwan, misalnya bagaimana julukannya sebagai kota perkebunan berabad-abad silam dapat menstimulus masyarakat Medan dalam mengajarkan peradaban manusia.
Sementara itu, Dirut PTPN Holding Muhammad Abdul Ghani mengapresiasi terbitnya buku yang ditulis Usman Kansong ini.
Menurutnya, buku ini semakin memperkaya sejarah bahwa Medan pada masa lalu adalah sebuah wilayah yang sangat hebat dan sangat potensial dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi masyarakatnya.
“Harus diakui pada era tahun 1930-an ekspor hasil perkebunan Indonesia ke luar negeri mencapai nilai Rp.43 triliun per tahun. Seluruh ekspor hasil perkebunan di Indonesia, separuh lebih berasal dari Medan dan Sumatera Utara,” kata Ghani yang juga penulis buku berjudul; “Jejak Planters di Tanah Deli’ ini.
Oleh karena itu, kata dia, Medan ini sesungguh sangat impresif untuk dapat mengembalikan prestasinya sebagai wilayah yang maju dan sejahtera.