Jakarta (ANTARA) - Virus corona baru (COVID-19) menghantam seluruh lini industri, tak terkecuali bisnis otomotif yang turun hingga 79 persen di China, dan penyusutan drastis di pasar Eropa, misalnya Inggris, Italia, dan Spanyol.
Namun ada setitik optimisme pada industri otomotif di balik pandemik virus corona, yakni keinginan untuk memiliki kendaraan pribadi demi meminimalisir kontak dengan orang lain, salah satunya adalah mobil listrik, menurut ekonom ING, Joanna Konings.
"Permintaan untuk memiliki mobil meningkat selama krisis COVID-19 sejauh ini. Kami tidak melihat hal itu dalam hal penjualan mobil, tetapi kami melihatnya dalam hal upaya konsumen mencari kendaraan juga menurut survei," kata Konings dilansir Reuters, Jumat (22/5).
Baca juga: Renault akan matikan beberapa model minivan
Baca juga: Pasar mobil Indonesia anjlok 90,6 persen April
"Pandemik menyebabkan ketakutan atas risiko infeksi yang membuat konsumen menghindari transportasi umum dan pada akhirnya meningkatkan permintaan mobil," tambahnya.
Jika memang permintaan mobil meningkat, para pembuat mobil dapat mengambil peluang untuk mempercepat peluncuran atau sekedar mengenalkan kembali mobil listrik, sebagai langkah lanjutan atas pengembangan yang sudah mereka jalankan sejak sebelum COVID-19 menyebar.
Ia berpendapat, harga minyak dunia yang turun tidak akan banyak mempengaruhi penjualan mobil konvensional. Sebaliknya, permintaan mobil listrik dapat bersaing tanpa dipengaruhi harga minyak.
Selain itu, ia mengatakan bahwa pembuat kebijakan dapat memaksimalkan upaya jarak sosial dengan mendorong percepatan penggunaan kendaraan listrik.
Sayangnya, upaya itu sulit dilakukan karena otomotif merupakan industri paling kompleks di dunia, karena melibatkan 10.000 pemasok dalam rantai pasok kendaraan. Maka tak heran, industri itu salah satu yang paling terdampak selama pandemik.