Pembelaan datang dari suporter garis keras pemain Argetina itu, sedangkan "hujatan" bertubi-tubi bermunculan dari mereka yang merasa rival abadi Messi, Cristiano Ronaldo, atau bek Virgil van Dijk yang sukses menyulap pertahanan Luverpool lebih pantas menerimanya.
Angka-angka statistika digelontorkan, silogisme dimuntahkan, hanya untuk memperdebatkan satu nama yakni Lionel Messi, topik yang nyatanya masih menjadi bahan pembicaraan paling menarik dari dunia sepak bola untuk tahun 2019.
Dalam usia 32 tahun, bukan umur prima untuk sepak bola modern yang menuntut kebugaran optimal hampir di setiap pertandingan, Messi masih menempatkan dirinya sebagai salah satu magnet utama perhatian sepak bola dunia.
2019 dari kaca mata Messi
Messi menjalani performa menawan dan menorehkan berbagai catatan mentereng untuk bisa mengantarkan trofi Ballon d'Or 2019 mendarat di genggamannya.
Terlepas dari nasib ironis yang dialami di Liga Champions serta Copa del Rey, Messi tidak bisa dipungkiri menjadi satu-satunya alasan Barcelona bisa memenangi gelar juara La Liga sekaligus menyelamatkan pekerjaan sang manajer Ernesto Valverde di Nou Camp.
Gol tunggal Messi ke gawang Levante pada 27 April memastikan gelar juara La Liga Spanyol bagi Barcelona saat musim 2018/19 masih menyisakan tiga pertandingan untuk dijalani.
Kala itu, Messi hanya berjarak dua trofi untuk menyamai rekor legenda Manchester United Ryan Giggs yang memenangi 36 trofi bersama satu klub sepanjang kariernya. Namun, Liverpol dan Valencia mencegah hal itu terjadi di Liga Champions dan Copa del Rey.
Messi menyabet gelar El Pichichi alias pemain tersubur di Liga Spanyol ketiganya dalam tiga musim beruntun ketika mengakhiri 2018/19 dengan torehan 36 gol. Koleksi gol itu mengantarkan pula trofi Sepatu Emas Eropa ketiganya dalam tiga musim beruntun dan total enam kali sepanjang kariernya.
Tak hanya jadi pencetak gol terbanyak, Messi juga memuncaki daftar pengirim assist di Liga Spanyol 2018/19 dengan catatan 13 kiriman setara dengan Pablo Sarabia yang kemudian hijrah dari Valencia ke Paris Saint-Germain.
Selanjutnya: Kendati gagal menjuarai Liga Champions...
Kendati gagal menjuarai Liga Champions, Messi tetap jadi pencetak gol terbanyak dengan 12 gol dan tendangan bebasnya yang membuat Alisson Becker tak berkutik di semifinal pertama terpilih menjadi gol terbaik Liga Champions musim 2018/19.
Di Liga Champions ia juga menorehkan rekor baru sebagai pemain yang mencetak gol ke 34 tim berbeda, melampaui legenda Real Madrid Raul Gonzalez serta rival abadinya Cristiano Ronaldo.
Pada pengujung Oktober, Messi juga menorehkan gol ke-50 yang dicetak dari tendangan bebas kala menjebol gawang Valladolid. Ia menyudahi tahun 2019 dengan koleksi 52 gol tendangan bebas.
Lantas pada November Messi mengemas trigol ke-34 saat membantu Barcelona melumat Celta Vigo, demi menyamai rekor trigol terbanyak di Liga Spanyol yang dipegang Cristiano Ronaldo. Mengingat Ronaldo saat ini di Italia, Messi sangat berkesempatan untuk menjadi penguasa tunggal rekor itu.
Ketika Barcelona menutup tahun dengan kemenangan 4-1 atas Alaves, Messi menorehkan mengakhiri 365 hari dengan torehan 50 gol, menajamkan rekor sebagai top skor Las Blaugranas sepanjang masa dengan 618 gol serta memecahkan rekor sebagai pemain dengan kemenangan terbanyak di Liga Spanyol yakni 348 kali.
Sekali lagi, sederet torehan spektakuler itu bukan saja pantas membuat Messi memenangi Ballon d'Or keenamnya tetapi juga menjadi salah satu topik pembicaraan paling menarik di dunia sepak bola.
Panggung sepak bola nir-Messi
Tentu Messi bukan satu-satunya hal menarik dari sepak bola dunia tahun 2019. Data FIFA menyebut setidaknya ada 265 juta orang yang aktif berprofesi sebagai pengolah kulit bundar di seluruh dunia, tetapi nama Messi jelas mendapat sorotan lampu terbesar di panggung sepak bola global.
Mau tidak mau panggung itu suatu hari hanya akan menyisakan foto atau monumen Messi di atasnya, di antara sosok-sosok lain yang saat ini berpotensi merebut porsi sorot lampu lebih besar.
Selanjutnya: Nama Neymar sempat disandingkan...
Nama Neymar sempat disandingkan dengan Messi dan Ronaldo sebagai talenta sepak bola paling mentereng di dunia, tetapi berbagai kontroversi legiun Brazil itu membuatnya lebih banyak disorot di luar lapangan ketimbang di atas rumput hijau.
Neymar membeli kontraknya sendiri di Barcelona agar bisa hijrah ke Paris Saint-Germain pada 2017, tetapi yang popularitasnya di Paris hanya berlangsung singkat, sebab pada saat bersamaan Le Parisien merekrut Kylian Mbappe dari AS Monaco.
Pada 20 Desember lalu, Mbappe merayakan ulang tahunnya yang ke-21. Ia berada dalam usia yang masih muda dan potensinya sangat besar untuk merebut sorot lampu terbanyak di panggung sepak bola global ketika Messi dan Ronaldo memutuskan gantung sepatu.
Jika PSG bisa segera menambal kebocoran lini pertahanan mereka, bukan tidak mungkin Mbappe akan berperan besar untuk memenuhi ambisi Nasser Al-Khelaifi menjuarai Liga Champions.
Kalau itu tidak segera terjadi, Mbappe masih punya pilihan untuk hijrah ke tim-tim elit Eropa lainnya seperti Real Madrid demi melempangkan jalan menuju prestasi kolektif yang sudah pasti bakal memperbesar asanya jadi terbaik di panggung dunia.
Beberapa hari lalu, selebrasi khas Mbappe tiap usai mencetak gol ditiru mentah-mentah oleh Trent Alexander-Arnold seusai melesakkan gol keempat Liverpool ke gawang Leicester City.
Selepasnya, melalui laman media sosial instagram pribadinya, Alexander-Arnold mengunggah fotonya dalam pose selebrasi itu sembari membubuhkan caption "Segalanya yang bisa dilakukan Mbappe..." sengaja menggantungkan kata-kata pelengkap "bisa saya lakukan".
Tentu saja, seorang bek seperti Alexander-Arnold tidak akan mendapat perhatian sebesar Mbappe, sebab pecinta sepak bola tradisionalis hanya bisa melihat siapa pencetak gol ketimbang siapa yang mengirimkannya. Lihat saja yang terjadi dengan Matthijs de Ligt, yang rumor transfernya menjadi tajuk utama banyak surat kabar tetapi kemudian cenderung diabaikan setelah mulai berseragam Juventus.
Namun, Alexander-Arnold suatu hari kembali ke posisi awalnya sebelum difungsikan sebagai bek kanan oleh Juergen Klopp yakni gelandang tengah, remaja lokal Liverpool berusia 21 tahun itu berkesempatan untuk mencuri perhatian lebih pesar di panggung sepak bola dunia.
Selanjutnya: Masih ada talenta-talenta potensial lain...
Masih ada talenta-talenta potensial lain yang punya masa depan cerah dan bisa berbicara banyak. Ansu Fati misalnya, remaja berusia 17 tahun itu mencuri perhatian pada paruh akhir 2019 setelah jadi pencetak gol termuda di Liga Champions saat memenangkan Barcelona atas Inter Milan, membuatnya dianggap calon penerus Messi.
Di Liga Spanyol masih ada nama Joao Felix, remaja berbanderol 126 juta euro, yang hijrah dari Benfica ke Atletico Madrid. Namun, Felix punya pekerjaan besar untuk bisa mengarahkan kariernya ke jalur terbaik, sebab ia masih belum begitu menawan bersama Los Rojiblancos.
Di Liga Prancis ada nama pemain muda Rennes, Eduardo Camavinga, tapi kecuali ia bisa hijrah ke liga top Eropa, ia hanya akan menjadi bekas calon bintang lainnya.
Di Liga Jerman ada Jadon Sancho dan Kai Havertz. Baik Sancho maupun Havertz perlu membuktikan lebih jauh kemampuannya untuk naik kelas ke level lebih tinggi.
Di Italia, duo Milan punya talenta menjanjikan. Sebastian Esposito di Inter dan Daniele Maldini di Milan. Esposito baru mencetak gol debutnya, sedangkan Daniele harus melakukan lebih banyak hal demi mengikuti jejak gemilang trah Maldini sebagaimana ayahnya Paolo dan kakeknya Cesare.
Sedangkan di Inggris, selain Alexander-Arnold banyak talenta muda yang perlu memperoleh kesempatan lebih besar dari timnya masing-masing agar bisa unjuk gigi, seperti Phil Foden di Manchester City, Mason Greenwood di Manchester United, Harvey Williams dan Rhian Brewster di Liverpool, Mason Mount di Chelsea dan Joe Willock di Arsenal.
Yang jelas, ketika Messi dan Ronaldo pensiun panggung sepak bola global --kemungkinan lebih dari 3-4 tahun lagi-- akan meninggalkan ruang kosong besar untuk diperebutkan banyak talenta yang tersebar di liga-liga top Eropa.