Jakarta (ANTARA) - Penusukan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto di Jakarta beberapa hari lalu oleh dua terduga teroris yang diduga merupakan "pasangan suami istri" ternyata telah mengakibatkan tiga prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) menerima sanksi akibat ulah istri mereka di media sosial.
Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Andika Perkasa pada Jumat (11/10) di Jakarta mengungkapkan bahwa seorang perwira menengah TNI AD berpangkat Kolonel telah dicopot dari jabatannya sebagai Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) Kendari Sulawesi Tenggara akibat komentar sang istri yang sama sekali tidak pantas terhadap Menko Polhukam Wiranto.
Jenderal Andika hanya menyebut inisial atau nama singkat sang kolonel sebagai HS. Namun pada akhirnya masyarakat di seluruh Tanah Air tahu bahwa HS itu adalah singkatan nama Kolonel Hendi Suhendi. Pada hari Sabtu (12/10) pagi, Kolonel Hendi telah menyerahterimakan jabatannya kepada Kolonel TNI Alamsyah.
Kasad bahkan mengungkapkan bahwa Kolonel Hendi juga ditahan selama 14 hari. Selain sang kolonel, ternyata ada pula seorang sersan dua TNI Angkatan Darat yang juga diperkarakan. Kemudian ada pula seorang prajurit TNI Angkatan Udara dari Surabaya, Jawa Timur, yang juga "mengalami nasib yang sama" akibat perbuatan tidak terpuji istri mereka yang berkomentar tidak pantas di media sosial.
Cemen
Istri Kolonel Hendi Suhendi berkomentar tentang penusukan Jenderal Wiranto dengan mengatakan bahwa Menko Polhukam jangan cemen. Kata itu dalam bahasa anak muda sekarang artinya adalah cengeng.
Istri mantan dandim Kendari ini boleh-boleh saja merasa sudah sangat hebat dengan mengeluarkan pendapatnya melalui media sosial. Akan tetapi pertanyaannya adalah bagaimana kalau yang diserang sehingga luka parah itu adalah sang suami, Kononel Hendi Suhendi. Akankah sang istri akan menyatakan pendapatnya bahwa dirinya sendiri atau juga sang suami akan bersikap cemen.
Masyarakat di Kendari boleh jadi sudah mengenal baik Suhendi beserta sang istri, entah baik atau malahan buruk. Akan tetapi yang patut dipertanyakan adalah patutkah seorang istri prajurit mengeluarkan pendapatnya melalui media sosial seperti itu?
Boleh saja istri Kolonel Hendi sudah merasa sangat berkuasa dengan jabatan suaminya itu. Akan tetapi harus diingat bahwa Wiranto -- walaupun tidak dikenalnya-- adalah seorang jenderal TNI Purnawirawan yang pernah menjadi Panglima ABRI pada sekitar tahun 1998 yang sekarang disebut Panglima TNI.
Bukankah di kalangan TNI sangat dikenal istilah semangat satu korps alias esprit de corps. Sudahkah sang istri ini membayangkan bahwa dalam satu detik saja, Kasad Jenderal Andika Perkasa mengambil keputusan yang amat mengejutkan. Rakyat Indonesia pasti bisa membayangkan bahwa dalam beberapa tahun mendatang, Kolonel Hendi tidak akan memiliki jabatan apa pun juga, baik di lingkungan TNI AD mau pun TNI hingga dirinya pensiun.
Keluarga Besar
Selain Kolonel Hendi, ternyata ada seorang sersan Angkatan Darat yang juga mengalami nasib buruk, gara-gara ulah sang istri. Sersan dua Z juga menghadapi masalah yang sama akibat celotehan istrinya di media sosial.
Istrinya menuduh bahwa penusukan terhadap Menko Polhukam Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto itu hanyalah merupakan rekayasa untuk mengalihkan perhatian rakyat Indonesia dari keadaan yang sesungguhnya. Satu kasus serupa lainnya yang menimpa istri prajurit TNI Angkatan Udara yakni Peltu YNS.
Masyarakat tentu masih ingat bahwa di Surabaya, Jawa Timur, baru-baru ini seorang wanita anggota Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI) dan Anggota TNI-Polri telah ditangkap polisi akibat dituduh menimbulkan masalah tentang Papua dan Papua Barat yang mengakibatkan munculnya kerusuhan di kedua provinsi di ujung timur wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.
Kasus yang dihadapi istri Kolonel Hendi serta dua prajurit TNI lainnya itu seharusnya menimbulkan kesadaran kembali di kalangan keluarga besar TNI bahwa sekali pun mereka adalah warga sipil biasa sebagaimana halnya warga Indonesia lainnya, mereka memiliki posisi khusus yang sipil lainnya. Keluarga besar TNI memiliki posisi istimewa untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan RI.
Sekalipun tidak menenteng pistol, senapan laras panjang seperti senapan serbu, atau bahkan M 16, panser hingga tank, keluarga besar TNI harus ikut aktif menjaga negara ini. Banyak caranya termasuk dengan tidak semaunya sendiri berbicara atau berkomentar melalui media sosial.
Sikap istri Konel Hendi serta dua prajurit lainya seharusnya menyadarkan semua istri dan anak-anaknya untuk ikut menjaga sebaik-baiknya bangsa dan negara ini.
Boleh saja seorang istri tidak suka terhadap seorang pejabat negara termasuk jenderal purnawirawan. Akan tetapi tolong diingat bahwa mereka adalah keluarga besar TNI seperti halnya sekitar 500.000 prajurit di seantero negara ini.
Jadi, janganlah mentang-mentang merasa sudah pintar memanfaatkan media sosial, kemudian menulis semaunya sendiri tentang situasi di Republik Indonesia ini.
Mudah-mudahan pencopotan jabatan Kolonel Hendi gara-gara ulah sang istri akan menjadi pelajaran amat berharga bagi seluruh anggota TNI, baik istri, suami, serta anak-anak mereka untuk menjaga mulut dan tangan mereka sehingga tidak akan terjadi pemecatan seperti yang baru saja terjadi.
Anggota TNI harus terikat kepada Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Keluarga besar TNI memang tidak harus wajib melaksanakan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga tapi harus diingat bahwa mereka harus ikut menjaga kehormatan kehormatan lembaga pertahanan negara itu.
Jadi, ibu-ibu anggota Persatuan Istri Tentara atau Persit dan juga di TNI AU dan TNI AL, ikutlah menjaga kehormatan TNI, suami mereka supaya tidak mencoreng nama baik TNI. Jangan ada lagi anggota Persit yang sampai harus dikenakan tuduhan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982-2018, pernah meliput acara kepresidenan tahun 1987-2009