Tapanuli Selatan (ANTARA) - Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru merupakan bagian dari pelaksanaan komitmen Pemerintah RI dalam Paris Agreement untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% pada tahun 2030.
Senior Adviser on Environment and Sustainability PLTA Batang Toru Agus Djoko Ismanto Ph.D menyatakan itu saat tampil sebagai pembicara dalam acara sesi Talkshow International Conference on Translating Science into Climate Policy and Action yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di IPB International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, pada Rabu (28/8).
Dalam siaran persnya yang diterima dari Bogor, Rabu, mengatakan, setiap tahunnya, PLTA Batang Toru dapat mengurangi emisi karbondioksida minimal 1,6 juta metric Ton atau setara dengan penyerapan karbon dari hutan seluas 120.000 hektar.
PLTA Batang Toru adalah wujud pemanfaatan energi bersih karena sumber energinya adalah air. “Kami sangat menyadari PLTA memerlukan lingkungan yang mendukung sebagai penyimpan air secara alamiah, PLTA Batang Toru tidak mempunyai reservoir, sehingga stok air tersimpan di dalam hutan," katanya.
PLTA Batang Toru secara fundamental akan mempertahankan dan selalu ikut program kelestarian kawasan yang menghasilkan air sebagai bahan baku operasinya, kata Agus Djoko Ismanto yang akrab dipanggil Adji.
Menurut Adji, pembangunannya sudah melalui kajian-kajian mendalam sesuai persyaratan nasional dan internasional.
“Tidak hanya melakukan AMDAL, kami juga telah melaksanakan kajian Environmental and Social Impact Assessment (ESIA), yang menjadikan kami PLTA pertama di Indonesia yang melaksanakan Equatorial Principle,” tambah Adji dalam keterangannya itu.
Kehadiran PLTA Batang Toru diiringi juga dengan turut menjaga kelestarian hutan dan tumbuhan langka. “PLTA Batang Toru berkomitmen dan sangat peduli untuk menjaga kawasan hutan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, yaitu dengan mendukung program Perhutanan Sosial seluas 12.000 Ha di 15 desa," sebutnya.
PLTA Batang Toru juga bersama pemerintah daerah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, dan semua pihak di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, melakukan penanaman dua tumbuhan langka, Meranti Merah dan Meranti Batu, sebagai aksi nyata melindungi bumi dari ancaman perubahan iklim.
Yang lebih pentingnya lagi kata dia, pembangkit berkapasitas 510 MW ini dapat mengemban peran untuk menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel berbahan bakar fosil pada saat beban puncak di Sumatera Utara.
Baca juga: Tokoh adat Simarboru serukan merdeka dari intervensi LSM asing soal Batang Toru