Mandaling Natal (Antaranews Sumut) - Masjid Nurul Iman di Desa Tabuyung, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandaling Natal (Madina), Sumatera Utara (Sumut) menjadi salah satu rumah ibadah yang tidak rusak walau diterjang gelombang tsunami yang menimpa Aceh pada 2004 dan Nias pada 2005.
Bagi masyarakat di desa itu, masjid yang didirikan pada 1980-an itu sangat istimewa. Kini masjid itu menjadi salah satu saksi sejarah terjadinya tsunami di desa itu. Pada peristiwa tsunami Aceh dan Nias, tidak ada bangunan masjid itu yang rusak, padahal jarak antara masjid dengan laut hanya sekitar 200 meter.
Saat gelombang tsunami datang, hampir seluruh rumah penduduk di kampung itu disapu bersih air laut. Ajaibnya, masjid tersebut tidak tersentuh oleh air laut. Sejumlah masyarakat yang nekat lari ke dalam mesjid tidak merasakan tinggi dan derasnya gelombang tsunami. Padahal, tinggi gelombang tsunami pada 26 Desember 2004 itu mencapai delapan meter.
Ketika gelombang tsunami surut, masyarakat melihat hampir seluruh pemukiman penduduk rata dengan tanah, kecuali Masjid Nurul Iman. Di dekat mesjid itu bersender sebuah kapal yang ikut terseret gelombang tsunami, namun juga tidak merusak bangunan mesjid. Di dalam masjid saat itu hanya ada orang buta yang sengaja diungsikan keluarganya ke dalam mesjid pada saat gelombang pasang mulai naik.
Menurut cerita yang diperoleh dari masyarakat setempat, tanda-tanda bencana sudah dirasakan masyarakat di desa itu pada sore hari. Sejumlah pertanda sudah terlihat, namun masyarakat tidak tahu bahwa itu pertanda tsunami. Pagi itu, air laut tiba-tiba surut dan mengering hingga ratusan meter.
Tak heran, ratusan masyarakat di kampung itu spontan mengambil ikan-ikan yang ikut terdampar akibat kekeringan air laut. Seolah tidak akan terjadi bencana besar, masyarakat berebut ikut di tengah laut yang mengering. Setelah ikan-ikan itu terkumpul, warga membawa pulang dan memasaknya.
Pada sore hari, sekitar pukul 16.00 WIB, air laut tiba-tiba naik. Namun, masyarakat menganggap itu hal yang biasa. Semakin lama, air laut tersebut datang semakin tinggi, warga mulai berkemas-kemas dan melarikan diri.
Sebagian masyarakat ada yang menyelamatkan diri dengan mengendarai sepeda motor, namun pada umumnya banyak yang berjalan kaki. Ada yang menggendong anak di tangan kiri dan kanan, sebagian lagi ada yang membawa pakaian untuk persiapan pengungsian.
Peristiwa yang sama juga dirasakan masyarakat pada saat tsunami di Pulai Nias pada 28 Maret 2005. Jika tsunami Aceh dirasakan pada sore hari, namun pada saat tsunami di Nias dirasakan masyarakat pada malam hari, tepatnya sekitar pukul 22.00 WIB. Saat itu, masyarakat merasakan gempa yang kencang.
Khawatir akan terjadi tsunami, masyarakat yang masih trauma dengan tsunami Aceh langsung berkemas dan keluar rumah serta lari mencari tempat aman. Tak lama setelah masyarakat keluar rumah, gelombang tsunami langsung datang dan kembali menyapu bersih rumah penduduk di kampung itu.
"Masjid ini dua kali menjadi saksi sejarah peristiwa tsunami di desa kami yakni tsunami Aceh dan tsunami Nias," ujar Zulkifli Batubara, salah seorang warga, Kamis (27/12).
Menurut dia, yang lebih menyeramkan adalah tsunami di Nias, karena kejadiannya pada malam hari. Saat itu dia dan anggota keluarganya berencana mau tidur. Namun tiba-tiba dirasakan gempa yang kencang. "Spontan kami berkemas dan lari dari rumah, karena kami trauma dengan kejadian yang pertama," tuturnya.
