Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat nasional ke 27 tahun 2018 yang sedang berlangsung di Medan kali ini membuat saya teringat pada masa kecil ketika saya mengikuti MTQ tingkat Provinsi tahun 1974 yang dilaksanakan di Tebing Tinggi.
Saya mewakili golongan anak-anak setelah tampil sebagai juara pertama pada MTQ tingkat kabupaten Tapanuli Utara. Meski saya tidak mendapat nomor sebagai juara harapan sekalipun, namun sebagai anak desa, saya bangga dapat mengikuti perhelatan MTQ tingkat Provinsi mewakili utusan daerah yang penduduk Islamnya minoritas.
Mungkin demikianlah gambaran kualitas pendidikan di desa masa itu yang belum mampu “berbicara” dengan daerah lain tak terkecuali dalam hal perlombaan seni membaca alqur’an melalui MTQ.
Kenapa tidak, pada awal belajar membaca Alqur’an, saya hanya diajari oleh guru ngaji tingkat kampung melalui pendidikan non formal yang kebetulan gurunya adalah guru pengangkatan UGA (Ujian Guru Agama).
Sudah dapat dibayangkan sejauh mana kompetensi guru di madrasah yang mengajarkan pengetahuan umum dan mengajarkan membaca Qur’an pada masa itu. Bagi seorang murid Madrasah Ibtidaiyah (MI) seperti saya tidak begitu penting untuk mengetahui tingkat kualifikasi guru-guru saya waktu itu.
Namun belakangan saya baru tahu ketika kami sama-sama mengikuti ujian negara PGAN 4 tahun di mana saya mengikuti ujian akhir sekolah secara formal sedang mereka menempuh ujian persamaan.
Ternyata latar belakang mereka bermacam-macam, ada yang hanya tamat setingkat SMP dan bahkan ada yang tidak tamat serta hanya sebagian kecil saja yang tamat SLTA.
Bukan meremehkan kualitas guru yang sudah mengajari, mendidik apalagi sudah berjasa kepada saya, tetapi hanya sekedar membandingkan betapa prihatinnya pendidikan kala itu baik dari segi mutu sumber daya manusia, sumber belajar dan fasilitas pembelajaran lainnya jika dibandingkan dengan masa sekarang yang serba cukup dalam segala hal.
Bahkan ketika itu saya sempat merangkap sebagai murid dan juga sebagai guru untuk membantu guru saya mengajari anak ‘mengaji” yang sedang belajar alif-alif.
Belum lagi ketiadaan penerangan aliran listrik sehingga kami masih menggunakan lampu petromak dan terkadang menggunakan lampu teplok setiap terjadi proses belajar mengaji. Demikian juga keterbatasan buku alif-alif yang dibutuhkan sehingga buku yang ada terpaksa dipakai secara bergantian.
Ketika belajar “mengaji” di tingkat kampung, saya belum mengenal kaedah membaca alqur’an yang benar sebagaimana terdapat dalam ilmu tajwid. Saya baru tahu hukum tajwid ketika duduk dibangku sekolah PGA.
Ada pun mengenai lagu (ghina) yang memperindah bacaan dalam setiap membaca alqur’an oleh guru saya diserahkan kepada masing-masing untuk mencari sendiri sesuai lagu yang diminati.
Kebetulan pada masa itu hanya ada tiga orang qori dan qoriah di Sumatera Utara yakni H. Hasan Basri, H. Chuailid Ahmad Daulay dan Hj. Nurasiah Jamil yang baru beredar kaset seni membaca alqur’an di pasaran yang bisa ditiru dan dicontoh dengan karakter lagu mereka yang berbeda-beda.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti langgam lagu H. Hasan Basri sementara teman yang lainnya meniru lagu yang dibawakan qori yang lainnya. Dari kaset inilah saya belajar lagu sehingga familiar membawakan lagu untuk berlomba di MTQ.
Pada masa itu saya belum mengetahui jenis-jenis lagu yang sudah ada. Yang mana bayati, shoba, hijaz dan yang lainnya belum pernah singgah dimemori saya. Tujuh macam lagu dengan segala tingkatannya itu baru tahu setelah beberapa lama kembali dari MTQ tingkat provinsi.
Namun yang jelas kala itu belum ada langgam seni membaca alqur’an seperti yang muncul belakangan ini yakni langgam ala Islam Nusantara.
Demikianlah sekilas sejarah pendidikan di pedesaan masa lalu yang sungguh berbeda dengan sekarang. Kini guru-gurunya sudah hampir berkualifikasi S1 dan sudah memperoleh sertifikat sebagai guru yang profesional.
Namun ceritanya sekarang sudah lain karena justru pendidikan non formal, khusus untuk “ngaji alqur’an” sudah tidak ada lagi. Belajar ngaji seperti saya dulu sudah lama hilang. Anak-anak seusia Sekolah Dasar (SD) dan SMP hanya tinggal memperoleh pendidikan Agama di sekolah yang hanya tersedia dua jam pelajaran setiap minggu.
Kecuali anak-anak yang memang belajar di MIN/MIS atau sekolah sore khusus “belajar ngaji” masih bisa diharapkan anak-anak dapat mengenal dasar-dasar agama, paling tidak mampu baca tulis alqur’an dan fashih membaca bacan sholat.
Tetapi jika hanya mengandalkan dua jam pelajaran inilah di sekolah, saya khawatir anak-anak generasi berikutnya dapat dipastikan tidak mampu membaca alqur’an dan fashih membaca bacaan sholat baik sholat fardhu maupun sholat jenazah.
Jangankan mahir dalam membaca bacaan sholat, membaca alfathihah pun bisa jadi bersalahan seperti membaca alfatihah menjadi alfateka.
Dalam hal ini perlu barangkali pihak Kemenag membuat terobosan baru di bidang pendidikan masyarakat khususnya dalam pemberantasan buta aksara alqur’an.
Kalaupun bidang ini sudah ada di Kemenag di semua tingkat kabupaten/kota namun perlu ada data seberapa banyak anak-anak di seluruh desa yang tidak memiliki pengetahuan dasar agama seperti tersebut di atas.
Saya tidak tahu apakah pihak Kemenag pernah mendata seperti ini melalui penelitian dan survey atau semacam sensus penduduk yang dapat merekam data seperti ini.
Jika data ini sudah ada maka dari basis data inilah mulai program kegiatan disusun dalam jangka pendek dan jangka panjang untuk menanggulangi buta aksara alqur’an.
Sedih melihat desa yang sudah mulai maju dari segi pembangunan fisik melalui program bantuan desa sehingga jalan ke persawahan pun sudah mulai diaspal sementara penduduknya buta agama dan buta aksara alqur’an.
Belum lagi tantangan pengaruh teknologi komunikasi dan informasi yang sudah tembus ke sudut desa yang membuat anak-anak terlena menikmati budaya baru yang terkadang yang isinya tak sesuai dengan ajaran agama.
Seperti diketahui bahwa di desa saat ini sudah hampir semua keluarga memiliki televisi (TV) yang bukan saja siaran nasional yang ditonton melainkan suguhan dari channel luar negeri karena mereka menggunakan peralatan parabola.
Jika lompatan globalisasi ini tidak cepat diantisipasi maka suatu waktu kita akan memiliki generasi yang buta aksara alqur’an dan buta agama jika anak- anak hanya dipadakan menerima dua jam pelajaran agama di sekolah.
Revolusi Mental
Menyimak tema MTQ nasional kali ini yang mengangkat”MTQ mewujudkan revolusi mental menuju insan qurani” sangatlah tepat. Itu berarti mempertegas pengakuan kandungan alqur’an sebagai sumber moral sekaligus pedoman hidup menuju insan yang berakhlaq sesuai norma alquran.
Meski pada awalnya MTQ adalah sebagai wadah perlombaan seni membaca alqur’an semata, tetapi kemudian MTQ diperluas maknanya hingga memperlombakan hafalan alqur’an mulai dari satu hingga tigapuluh juzz serta sejumlah perlombaan yang menyertainya.
Para hafiz (penghapal alquran) inilah nanti yang akan menjaga dan mewarisi kemurnian ayat-ayat Allah agar jangan hilang di telan masa dari rongrongan tangan-tangan jahil yang sengaja menghilangkannya.
Kita sangat berbahagia bahwa secara implisit MTQ telah tercatat sebagai alat untuk mengontrol ke mana arah revolusi mental dimaknai dan ditafsirkan.
Terlepas dari adanya kesan buruk tentang kelahiran istilah revolusi mental dalam sejarahnya di Eropa dan China dalam konteks politik, apalagi dimaknai dengan berbagai penafsiran yang berbau ke “kiri-kirian”, kita tidak boleh berburuk sangka terhadap revolusi mental yang menjadi jargon pembangunan masa kini.
Kita tentu harus mampu mengartikulasikannya sesuai dengan falsafah pancasila yang kita anut. Mudah-mudan revolusi mental ini bukan hanya sekedar hiasan bibir (lips service) melainkan sebuah spirit uluhiyah dan ubudiyah dalam rangka perbaikan bangsa ke depan.
Bung Karno dengan gerakan revolusinya (tanpa mental) memaknainya sebagai perombakan cara berpikir, kerja, berjuang, dan cara hidup agar selaras dengan semangat kemajuan dan tuntutan revolusi nasional.
Ia adalah satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat bagai elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.
Dari uraian di atas jelas bahwa makna revolusi itu merupakan gerakan perubahan besar, cepat, mendasar dan radikal menunuju ke arah kehidupan yang lebih baik.
Tak ada yang salah dari jargon dan motto seperti ini karena sifatnya ideal dan das sollen. Yang salah adalah apabila tujuannya tidak sesuai dengan yang dikerjakan. Ibarat sebuah perjalanan musafir, jika arah kompas falsafah mengarahkan kepada suatu titik tertentu maka jalan yang dilalui tentu harus koheren dengan yang dituju.
Atau dengan ibarat lain apabila kita disuruh menuju jalan kanan tetapi sarana jalan yang disediakan adalah jalan yang ke kiri.
Itu namanya behavior yang tidak sesuai antara perkataan dengan perbuatan. Jika itu yang terjadi terus menerus maka Allah akan murka terhadap orang yang hanya pandai bercakap tapi tidak pandai mengamalkan sebagaimana firman Allah dalam surat Ash-shaf: 3
Marilah kita menyimak fenomena alam belakangan ini sebagai bahan renungan. Bancana alam yang terjadi di Lombok dan Palu bukan hanya sekedar geliat alam belaka secara natural, tetapi ada unsur immanen dari Tuhan meski susah dibuktikan secara ilmiah karena di luar jangkauan pengalaman manusia.
Hanya iman yang bisa menerimanya karena ada batas-batas ontologi yang tak bisa dicampuri akal manusia termasuk campur tangan Tuhan dalam setiap peristiwa yang terjadi di alam ini. Tidakkah kita memahami prilaku kaum Nabi Nuh dan Luth yang akhirnya Tuhan menurunkan bala besar kepada kaumnya.
Boleh jadi umat sekarang sudah mendekati moral seperti para kaum nabi-nabi tersebut sehingga Allah marah dan mendatangkan peringatan yang kedahsyatannya di luar kemampuan akal manusia dalam menejermahkannya.
Atau mungkin karena Tuhan (meminjam Ebiet G. Ade) sudah bosan melihat tingkah kita karena tuntunanNya sudah menjadi tontonan dan bahkan diperjualbelikan dengan cara murah oleh segolongan orang.
Wacana penghilangan pendidikan agama di sekolah, mengobok-obok ayat alqur,an dengan cara menghilangkan potongan ayat alqur’an dan mengaburkan makna ayat dari sesungguhnya adalah i’tikat yang tak baik dalam konteks pengamalan sila yang pertama Pancasila.
Demikian juga perlakuan kriminalisasi terhadap ulama, penghadangan ustazd dalam memberikan pencerahan lewat tabligh akbar dan pengajian serta pengetatan kebebasan beragama dengan keharusan mengecilkan suara azan barang dua menit pun adalah tindakan yang tak sesuai dengan moral panca sila yang sejatinya menjunjung tinggi eksistensi agama.
Akhirnya makna revolusi mental pun menjadi semu karena keluar dari ruh revolusi mental yang sebenarnya. Jika ini yang terjadi bukan tidak mungkin Allah akan mengeluarkan hak prerogatifnya - menegor dengan cara kasar -kepada hambanya melalui peristiwa-peristiwa lanjutan yang tak bisa di deteksi melalui peralatan gempa dan tsunami.
Atau boleh jadi Allah menurunkan burung abaabil jilid dua untuk memberangus segala niat-niat jahat, kepongahan dan kemungkaran sekaligus menunjukkan ketangkasanNya yang melebihi kebolehan manusia.
Penutup
Melalui MTQ kali ini kiranya dapat melahirkan qori dan qoriah yang handal serta hafiz-hafiz yang membanggakan agar dapat memelihara alqur’an tetap seperti sediakala meski tidak sekokoh pemeliharaan Allah di lauhul mahfudz.
Mudah-mudah dengan MTQ ini menjadi pendorong bagi kita untuk mempelajari dan mendalami kandungan alqur’an sekaligus mengamalkannya dalam berkehidupan beragama, berbangsa dan bernegara dibawah naungan baldatun thoyyibatun warobbun ghofur. Selamat bermusaabaqoh.
{Penulis adalah Guru Besar Unimed dan pengurus PW. Muhammadiyan Sumut)
MTQ dan revolusi mental
Rabu, 10 Oktober 2018 17:56 WIB 6676