Oleh Irwan Arfa
Medan, 23/3 (Antara) - Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 sudah memasuki tahapan kampanye. Dalam beberapa hari, seluruh rakyat Indonesia akan memberikan hak pilihnya untuk menentukan wakilnya di parlemen.
Di tingkat nasional, 12 partai politik siap bersaing untuk meraih kursi di parlemen, mulai tingkat DPRD kabupaten/kota, DPRD Provinsi, hingga DPR RI.
Ke-12 partai itu adalah Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Selain menawarkan berbagai visi dan misi yang dinyatakan prokerakyatan, parpol menampilkan sejumlah nama yang dianggap dapat menarik perhatian masyarakat.
Di Sumut, ada fenomena menarik dengan hadirnya sejumlah tokoh atau masyarakat dari etnis Tionghoa yang menjadi calon anggota legislatif (caleg), baik untuk tingkat DPR RI, DPRD Provinsi, mau pun DPRD kabupaten/kota.
Untuk tingkat DPR RI, terdapat nama Iskandar, ST dari Partai Nasdem, serta Yenni Meilina Lie dan Sofyan Tan dari PDI Perjuangan yang pernah menjadi calon wali kota Medan pada tahun 2010.
Untuk tingkat DPRD Sumut, sedikitnya terdapat 12 etnis Tionghoa yang menjadi caleg yakni Haryanto (PKPI), Sanny Joan Salim (PKPI), Sonny Firdaus (Gerindra), Ferdinan Godang dan Brilian Moktar (PDI Perjuangan) untuk Dapil Sumut 1.
Kemudian, Juli Utara (PDI Perjuangan) dan Tony Chandra (Gerindra) dari Dapil Sumut 2. Serta Sukiran (PDI Perjuangan) dan Tjia Susanto Wijaya (PAN) dari Dapil Sumut 3.
Selanjutnya, terdapat nama Ng Kok Pheng (PKB) dari Dapil Sumut 4, Ramli (Partai Demokrat) dari Dapil Sumut 8, dan Yo Emil Lines (PDI Perjuangan) dari Dapil Sumut 12.
Jumlah tokoh tionghoa yang menjadi caleg pada Pemilu 2014 tersebut semakin banyak jika dihitung dari kabupaten/kota, terutama di Kota Medan.
Fenomena positif
Pengamat politik dari Gugus Nusantara Irwansyah Hasibuan menilai, banyaknya etnis Tionghoa di Sumut yang terjun dalam politik praktis dengan menjadi caleg tersebut merupakan fenomena positif.
Kondisi itu dapat menjadi indikasi kesadaran politik etnis tionghoa di Sumut semakin tinggi dengan berupaya untuk terlibat langsung dalam menentukan kebijakan politik.
Apalagi jumlah etnis Tionghoa yang terjun dalam politik praktis tersebut semakin bertambah jika dibandingkan dengan penyelenggaraan Pemilu 2009.
Namun, aspek kuantitas tersebut harus dapat diimbangi faktor kualitas dengan memperkuat kemampuan dan pemahaman terhadap sistem ketatanegaraan sehingga mampu berperan secara maksimal jika terpilih nantinya.
Jika tidak diimbangi dengan aspek kualitas, keberadaan etnis tionghoa itu dapat menimbulkan pertanyaan. "Mereka mau ngapain mereka, menambah jumlah atau ada agenda lain," katanya.
Untuk mampu meraih simpati masyarakat, politisi etnis Tionghoa tersebut harus mampu membuktikan kemampuan dan komitmen untuk mengabdi, bukan sekadar mencari jabatan politik.
Tidak terbantahkan jika keberhasilan Ahok, sapan akrab Basuki Tjahaya Purnama, menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta memberikan pengaruh positif bagi etnis Tionghoa dalam dunia politik.
"Pengaruh Ahok pasti ada. Namun dukungan terhadap muncul karena dapat membuktikan diri untuk mengabdi," katanya.
Menurut Irwansyah, jika dilihat dari aspek kebangsaan dan persatuan, fenomena tersebut tidak perlu dicurigai atau dipertanyakan hanya karena berasal dari etnis tionghoa sehingga diragukan nasionalismenya.
Jika disimak seluruh perjalanan sejarah bangsa, sangat banyak etnis tionghoa yang telah terbukti memiliki nasionaisme yang tinggi dan memberikan sumbangsih pengabdian untuk kemajuan Indonesia.
Di antaranya, mantan Menteri Perekonomian Kwik Kian Gie, tokoh Katolik yang juga salah satu pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Harry Tjan Silalahi, mantan aktivis 66 Soe Hok Djin yang lebih dikenal dengan Arif Budiman, sejarawan Ong Gok Ham, dan aktivis Soe Hok Gie.
Lain lagi dengan pebulutangkis Liem Swie King dan Rudi Hartono, pendiri Harian Kompas PK Auw Jong, serta ahli sejarah ekonomi yang sangat dihormati di kalangan LIPI Thee Kian Wie.
Di Sumut juga ada Wang Ren Su yang ikut memperjuangkan merah putih. "Jadi, sangat banyak. Jangan pernah meragukan nasionalisme mereka. Justru yang bertanya itu yang perlu mengukur diri," ujar pendiri Akademi Rakyat Pertanian Terpadu (Akar Perdu) Sumut itu.
Tantangan besar
Politisi-politisi etnis Tionghoa yang ikut dalam Pemilu 2014 tersebut dinilai menghadapi tantangan yang sangat besar dan dapat menimbulkan citra negatif bagi etnis tionghoa jika tidak mampu disikapi dengan baik.
Menurut mantan Guru Besar Bidang Cinology Universitas London, Inggris Prof Surya Sampurna, sesuai dengan teori umum, kekuasaan itu cenderung korup sehingga sering melupakan rakyat ketika telah berkuasa.
Jika terpilih menjadi wakil rakyat nantinya, politisi-politisi tionghoa tersebut harus benar-benar mampu memperjuangkan aspirasi rakyat yang telah memberikan mandatnay dalam pemilu.
"Namun, kalau punya pikiran yang 'aneh-aneh' dan terjerumus, itu kemunduran. Kalau hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongannya, bisa celaka," katanya.
Untuk itu, politisi-politisi dari etnis tionghoa tersebut harus dapat "membersihkan" niatnya dalam berpolitik dan memperkuat komitmen dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.
Jika nilai ideal tersebut dapat direalisasikan dan dapat menegakkan proses berpolitik dengan benar, maka kehadiran politisi etnis Tionghoa tersebut akan memberikan dampak yang luar biasa.
Selain memperkuat komitmen dan integritasnya, politisi-politisi dari etnis Tionghoa tersebut harus bisa meningkatkan kemampuan dan pemahaman tentang sistem ketatanegaraan.
"Kalau tidak, mereka akan dipermainkan yang 'tua-tua' itu. Kalau tidak larut dalam permainan, justru akan dipermainkan," ujar Prof Surya.
Bukti kesetiaan berbangsa
Sementara itu, tokoh Tionghoa Sumut yang juga politisi PDI Perjuangan Brilian Moktar beranggapan, keterlibatan dalam politik tersebut merupakan wadah untuk membuktikan kesetiaan dan kecintaan terhadap bangsa.
Politisi yang dua kali dipercaya menjadi Ketua Komisi E Bidang Kesejahteraan Rakyat DPRD Sumut itu mengaku keterlibatannya dalam politik bukan untuk mencari uang, melainkan sarana untuk mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat.
"Jangan jadikan Pemilu untuk mencari kekuasaan dan uang. Itulah bukti kecintaan kita terhadap bangsa," katanya.
Ketua Umum "Sahabat Centre" itu mengakui jika ada sekelompok orang yang masih menilai rendah rasa nasionalisme etnis tionghoa, apalagi dengan adanya "oknum" tionghoa yang terlibat masalah dengan hukum.
Namun Brilian Moktar menegaskan prinsipnya bahwa nasionalisme itu tidak diukur dari agama, keturunan, dan etnis, melainkan komitmen dan perilaku yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat banyak.
"Apa tolak ukur nasionalisme tionghoa lebih rendah dari etnis lain. Saya memang tionghoa, tetapi saya lahir disini, besar disini, dan kalau meninggal dunia pun akan dikuburkan disini," katanya.
Salah satu pendiri Persatuan Donor Darah Indonesia (PDDI) Sumut itu justru menyesalkan kebijakan sejumlah pejabat negara atau BUMN yang terkesan kurang nasionalis dengan tidak mengutamakan kesempatan bagi pengusaha nasional.
"Banyak proyek besar yang diserahkan ke pengusaha asing. Masih banyak investor dalam negeri yang mampu. Kenapa perusahaan asing yang diberi," ujarnya. (I023)
Menanti Geliat Politik Etnis Tionghoa Sumut
Minggu, 23 Maret 2014 18:31 WIB 2702