Jakarta, 29/12 (Antara) - Tahun politik, demikian sejumlah media massa nasional menyebut 2014 sebagai tahun transisi kepemimpinan lembaga ekskutif dan legislatif melalui pemilihan umum yang berdampak pada semua bidang kehidupan bernegara, termasuk bidang ekonomi.
Ekonomi menjadi topik utama yang diamati para pakar dan pembuat kebijakan menjelang 2014 karena masalah ekonomi selalu menjadi "bahan jualan" ketika calon pemimpin berkampanye saat pemilihan umum.
Hasil survei Indo Barometer pada bulan November 2013 pun menunjukkan permasalahan ekonomi sebagai masalah ke-2 yang paling mendesak untuk diselesaikan, baik di tingkat nasional maupun provinsi.
Isu-isu seputar Pemilu 2014 seperti persiapan penyelenggaraan oleh Komisi Pemilihan Umum, persiapan partai-partai politik mengikuti pemilu, berbagai survei tentang tanggapan masyarakat terhadap pemilihan umum berikut para peserta pemilu, serta masalah korupsi yang menjerat partai politik seakan menjadi faktor yang memengaruhi ekonomi pada tahun 2014.
Isu-isu tersebut lalu seakan menjadi variabel-variabel domestik yang sangat berpengaruh terhadap Perekonomian Indonesia pada tahun 2014 karena pemilu dianggap sebagai kondisi penuh ketidakpastian.
Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Darmin Nasution memperkirakan perekonomian Indonesia pada tahun 2014 tidak banyak mengalami perbaikan.
Darmin mengatakan bahwa kondisi pemilu mendatangkan sisi positif dan negatif. "Negatifnya, investor menunggu dan melihat. Siapa mau cari gara-gara, tunggu saja pemilu lewat," kata Darmin seperti dikutip salah satu media nasional.
Pendapat serupa disampaikan ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Sri Adiningsih. Adiningsih, seperti dikutip dalam situs Internet Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, mengatakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia akan lebih buruk lagi jika agenda pelaksanaan pemilu tidak berjalan baik.
"Tahun pemilu, risiko kemerosotan pertumbuhan ekonomi sangat tinggi. Jika pemilu tidak damai, ekonomi akan jatuh," kata Adiningsih.
Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R. Siti Zuhro menjelaskan bahwa isu-isu krusial yang mungkin muncul pada tahun pemilu adalah konflik.
"Dari perspektif politik, kebijakan politik pemimpin akan berpengaruh terhadap aktivitas dunia usaha. Peraturan yang jelas dan mengikat akan memberikan kejelasan dan mengikat pula bagi dunia usaha. Regulasi yang probisnis akan menciptakan peluang positif dan memberikan kenyaman bagi dunia usaha," kata Siti dalam artikel yang dimuat di Antaranews.com.
Keterkaitan Politik dan Ekonomi
Kekhawatiran kondisi politik 2014 yang seakan tidak pasti terhadap perekonomian Indonesia itu bertolak belakang dengan target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar enam persen oleh Kementerian Keuangan ataupun Bank Indonesia.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2014 akan memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi akibat aktivitas belanja oleh partai-partai dan para caleg.
"Apalagi kalau kita mengetahui Indonesia tahun depan sudah tahun pemilu dan berdasarkan tahun pemilu itu pertumbuhan ekonomi Indonesia tambah 0,2--0,3 persen," ujar Agus.
Pengamat Ekonomi Politik Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan bahwa tahun pemilu lebih berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional, terutama jika calon petahana atau partai petahana kembali berlaga dalam pemilu.
"Kenapa orang harus merasa lebih mencekam pada tahun pemilu? Kecuali, jika Anda di Thailand, Mesir, atau Banglades. Di Indonesia, tidak ada setitik darah pun menetes karena pemilu. Kalau pun ada, itu karena jatuh dari truk atau dari atap metromini yang merupakan kecelakaan lalu lintas," kata Faisal kepada ANTARA beberapa waktu lalu.
Tokoh yang sempat maju dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 itu mengatakan, jika pandangan pesimistis muncul terhadap pemilu, data-data pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun pemilu semestinya menunjukkan grafik menurun.
"Akan tetapi, kenyataannya pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun pemilu justru naik dibanding tahun sebelumnya. Kecuali, pada tahun 2009 karena pengaruh krisis global, kita tumbuh 4,6 persen," kata Faisal.
Indikator pesimistis lain terhadap pemilu, menurut Faisal, yaitu penurunan jumlah turis asing yang datang ke Indonesia.
"Faktanya, selama tiga kali tahun pemilu, jumlah turis asing ke Indonesia justru naik dan tahun depan insya Allah jumlah turis asing ke Indonesia mencapai sembilan juta orang meskipun tahun pemilu," kata Faisal.
Faisal menunjukkan data World Bank tentang jumlah kunjungan turis internasional ke Indonesia dan membandingkan jumlah kunjungan turis asing pada tahun 1998, 1999, 2003, 2004, 2008, dan 2009.
Jumlah turis asing pada tahun 2004, misalnya, sebesar 5,321 juta orang lebih tinggi daripada tingkat kunjungan pada tahun 2003 sebesar 4,467 juta orang.
"Katanya, ketika pemilu, negara tidak ada yang mengurus karena semua pejabat mencalonkan diri, termasuk menteri-menteri ikut mencalonkan diri dan konsentrasi tidak fokus pada negara," kata Ketua Dewan Penasihat Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA) itu.
Faisal mengatakan, "Toh, selama ini mereka juga tidak mengurus rakyat. Justru mereka itu mengganggu. Malah pada tahun politik mereka tidak mengganggu, atau yang mengganggu berkurang."
Tim ekonomi negara pada empat tahun pemilu, yaitu 1999, 2004, 2009, dan 2014, menurut Faisal, tidak pernah dari partai politik, kecuali Ginanjar Sasmita pada tahun 1999 dan Hatta Rajasa pada tahun 2014 sebagai Menteri Koordinator Perekonomian.
Pendiri Pergerakan Indonesia itu percaya calon petahana pada Pemilu 2014 yang mewakili diri dan partainya berusaha memoles wajah perekonomian nasional untuk mendapatkan simpati dari calon pemilih sehingga angka ekonomi nasional tetap tumbuh.
"Isu ekonomi yang dapat dia poles akan dipoles seperti angka inflasi yang menurun ketika pemilu, angka kemiskinan, dan angka pengangguran. Satu hal yang tidak bisa dipoles adalah koefisien gini," kata Faisal.
Faisal menjelaskan bahwa faktor-faktor politik, terutama pada tahun pemilu, bukan lantas tidak ada keterkaitan dengan ekonomi, melainkan hubungan antara keduanya semakin renggang.
"Penyelenggaraan pemilu di Indonesia selalu berjalan damai dan tidak pernah ada kudeta militer seperti di Mesir atau pihak yang benar-benar mengusung negara Islam seperti ikhwanul muslimin," kata Faisal.
Contoh lain hubungan yang makin renggang antara politik dan ekonomi di Indonesia, menurut Faisal, yaitu indeks harga saham gabungan (IHSG) yang mencapai rekor baru, yaitu 5.060,919 pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 1 Mei 2013.
"Tidak satu pun toko tutup saat May Day. Peringatan Hari Buruh berjalan damai karena rakyat tidak menganggap akan ada kerusuhan dan buruh makin dewasa," kata Faisal.
Faktor Ekonomi Global?
Apabila kaitan antara politik dan ekonomi makin renggang, mengapa sebagian pengamat ekonomi dan bahkan pengambil kebijakan ekonomi negara pesimistis terhadap makroekonomi Indonesia pada tahun 2014 meski telah tertarget pertumbuhan enam persen?
Agus Martowardojo mengatakan bahwa perekonomian Indonesia harus lebih siap menghadapi gejolak ekonomi global, terutama terkait dengan rencana pengurangan stimulus moneter oleh Bank Sentral AS (The Fed) pada tahun 2014.
"Saya rasa kini sudah ada satu progress yang baik, tetapi pada tahun depan kita harus mempersiapkan lebih baik karena stimulus dari Federal Reserve itu akan dikurangi," kata Agus pada tanggal 22 November 2013.
Pengurangan stimulus dari Bank Sentral AS itu, menurut Agus dalam pidato Bankers' Dinner 14 November, ditandai dengan derasnya aliran keluar modal portofolio asing sehingga nilai tukar rupiah tertekan secara tajam.
Pertumbuhan pesimistis ekonomi Indonesia juga disampaikan oleh Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo Chaves. Rodrigo mengatakan bahwa prediksi Bank Dunia terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2014 sebesar 5,3 persen atau turun 0,3 persen dari PDB pada tahun 2013 sebesar 5,6 persen.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pimpinan Rizal Ramli menyampaikan pula pertumbuhan perekonomian Indonesia pada tahun 2014 yang tidak lebih baik daripada pertumbuhan perekonomian pada tahun 2013 akibat defisit transaksi berjalan dan defisit neraca pembayaran, selain kondisi perekonomian global akibat pengurangan stimulus moneter (tapering) oleh Bank Sentral AS.
Terhadap pernyataan pesimistis perekonomian Indonesia yang dipengaruhi "tapering" The Fed, Faisal membantah dengan menunjukkan data dari Bank Indonesia tentang arus investasi portofolio Indonesia yang menunjukkan angka positif pada kuartal kedua 2013 sebesar 3.389 juta dolar AS dan pada kuartal ketiga 2013 sebesar 1.884 juta dolar AS.
Faisal menambahkan bahwa kepemilikan asing terhadap Surat Utang Negara (SUN) sebagian besar (42 persen) bertenor lebih dari 10 tahun yang menunjukkan investor asing masih percaya pada perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.
"Sumber pelemahan nilai tukar rupiah sejak 2011 berasal dari defisit neraca berjalan perdagangan nonmigas yang makin memburuk hingga sekarang," kata Faisal.
Faisal menjelaskan bahwa nilai tukar rupiah makin melemah akibat industri nonmigas Indonesia tidak mempunyai daya saing sehingga neraca perdagangan nonmigas pada neraca transaksi berjalan makin menurun.
"Pertanyaan saya, kita ini negara yang subur dengan area yang relatif luas mengapa masih mengimpor bahan baku dan tidak mengembangkan sendiri? Seperti pengolahan bauksit menjadi alumina," ujar Faisal.
Menjelang tahun politik 2014, Faisal mengatakan, ketika semua peserta pemilihan umum telah mengetahui masalah perekonomian nasional, pertanyaan yang diajukan kepada calon peserta pemilu adalah bagaimana para kandidat itu menyelesaikan permasalahan?
"Kita tanya bagaimana caranya dan itulah yang seharusnya ditawarkan kepada kandidat peserta pemilu. Dan, hal penting lainnya adalah dia melaksanakan cara itu karena tugas pemimpin itu membuat prioritas," kata Faisal.
Jika variabel politik di Indonesia makin renggang, pengaruhnya terhadap perekonomian nasional, sementara pelemahan ekonomi makro lebih disebabkan faktor internal, seperti disebut Faisal Basri, dan bukan faktor ekonomi global, maka masih benarkah tahun politik memperburuk perekonomian nasional?. (I026)