Medan, (Antaranews Sumut) - Unsur penegak hukum perlu memberlakukan proses "diversi" terhadap anak yang bermasalah dengan hukum secara adil agar tidak menimbulkan kesan diskriminasi dan potensi masalah sosial lainnya.
Senior Officer Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Sumatera Utara Misran Lubis di Medan, Kamis, mengatakan, proses "diversi" atau pengalihan proses?hukum formal menjadi proses nonformal bagi anak yang bermasalah dengan hukum memang sangat diperlukan.
Proses tersebut dinilai sebagai pendekatan hukum yang sesuai?dengan semangat dan ruh lahirnya UU 11 tahun 2012 tentang Sistem?Peradilan Pidana Anak (SPPA). Prosedur penerapannya juga telah diatur didalam Peraturan?Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2015.
"Sebagai penggiat perlindungan anak, tentu saya menyatakan setuju jika diberlakukan proses Diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum," katanya.
Pendekatan diversi dan?keadilan restoratif bukan untuk membenarkan sebuah tindak pidana, tetapi untuk?melakukan proses hukum khusus pada anak dengan tujuan kepentingan terbaik anak.
Namun, kata Misran, proses Diversi memiliki kriteria dan syarat yang berlaku adil dan tidak diskriminiatif.
Pihaknya menyayangkan kebijakan Polri terhadap anak?berinisial RJ alias S (16), yang diduga telah mengina Presiden RI Joko Widono karena dapat melukai rasa keadilan.
Kondisi itu berbeda jauh dengan pelajar SMK berinisial MFB yang juga menghina Presiden RI dan Kapolri Tito Karnavian di akun media sosialnya yang divonis 1,5 tahun di PN Medan.
Karena itu, untuk menciptakan rasa hormat rakyat terhadap hukum, aparat penegak hukum diminta menggunakan pendekatan diversi dan?keadilan restoratif secara seragam dan tanpa diskriminasi.
Diskresi yang tidak memenjarakan anak dengan menggantikannya menjadi proses rehabilitasi sepertinya perlu ada azas sama dalam penerapannya.
Lemahnya penegakan hukum bisa memicu masalah sosial lainnya yakni meningkatkan suhu kebencian pada etnis tertentu atau akan?semakin memperbesar ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum, juga pada?aparat penegak hukum itu sendiri.
Pihaknya juga meminta kalangan orang tua untuk tidak melakukan intervensi yang seolah-olah membenarkan perbuatan?anak yang memang diketahui salah dan melanggar hukum.
"Mengajari anak untuk mendapatkan perlakuan yang sama jika berbuat sesuatu adalah penting. Anak akan tidak menjadi apa-apa kalau selalu dilindungi?perbuatan salahnya," ujar Misran. Budi Suyanto
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018
Senior Officer Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Sumatera Utara Misran Lubis di Medan, Kamis, mengatakan, proses "diversi" atau pengalihan proses?hukum formal menjadi proses nonformal bagi anak yang bermasalah dengan hukum memang sangat diperlukan.
Proses tersebut dinilai sebagai pendekatan hukum yang sesuai?dengan semangat dan ruh lahirnya UU 11 tahun 2012 tentang Sistem?Peradilan Pidana Anak (SPPA). Prosedur penerapannya juga telah diatur didalam Peraturan?Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2015.
"Sebagai penggiat perlindungan anak, tentu saya menyatakan setuju jika diberlakukan proses Diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum," katanya.
Pendekatan diversi dan?keadilan restoratif bukan untuk membenarkan sebuah tindak pidana, tetapi untuk?melakukan proses hukum khusus pada anak dengan tujuan kepentingan terbaik anak.
Namun, kata Misran, proses Diversi memiliki kriteria dan syarat yang berlaku adil dan tidak diskriminiatif.
Pihaknya menyayangkan kebijakan Polri terhadap anak?berinisial RJ alias S (16), yang diduga telah mengina Presiden RI Joko Widono karena dapat melukai rasa keadilan.
Kondisi itu berbeda jauh dengan pelajar SMK berinisial MFB yang juga menghina Presiden RI dan Kapolri Tito Karnavian di akun media sosialnya yang divonis 1,5 tahun di PN Medan.
Karena itu, untuk menciptakan rasa hormat rakyat terhadap hukum, aparat penegak hukum diminta menggunakan pendekatan diversi dan?keadilan restoratif secara seragam dan tanpa diskriminasi.
Diskresi yang tidak memenjarakan anak dengan menggantikannya menjadi proses rehabilitasi sepertinya perlu ada azas sama dalam penerapannya.
Lemahnya penegakan hukum bisa memicu masalah sosial lainnya yakni meningkatkan suhu kebencian pada etnis tertentu atau akan?semakin memperbesar ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum, juga pada?aparat penegak hukum itu sendiri.
Pihaknya juga meminta kalangan orang tua untuk tidak melakukan intervensi yang seolah-olah membenarkan perbuatan?anak yang memang diketahui salah dan melanggar hukum.
"Mengajari anak untuk mendapatkan perlakuan yang sama jika berbuat sesuatu adalah penting. Anak akan tidak menjadi apa-apa kalau selalu dilindungi?perbuatan salahnya," ujar Misran. Budi Suyanto
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2018