Medan, 26/10 (Antarasumut) - Pengembang memprediksi permintaan properti 2017 naik sekitar 20 persen, menyusul membaiknya harga komoditas, perekonomian global, program tax amnesty dan regulasi pemerintah yang berpihak seperti penurunan suku bunga kredit perbankan.
"Permintaan properti yang membaik itu sudah mulai dirasakan pengembang di akhir 2016. Jadi tidak heran, pengusaha properti sudah semakin fokus mengembangkan bisnisnya kembali akhir tahun 2016 ini," kata pengusaha properti nasional, Tomi Wistan di Medan, Rabu.
Pertumbuhan permintaan properti hingga sekitar 20 persen pada 2017 itu naik signifikan dibandingkan 2016 yang diprediksi hanya meningkat lima persen.
Kenaikan permintaan yang lima persen itupun, lebih banyak di perumahan sederhana atau masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Masih rendahnya permintaan properti pada tahun ini, ujar mantan Ketua Realestate Indonesia (REI) Sumut itu, masih terkena dampak kondisi perekonomian yang menurun sejak beberapa tahun terakhir.
"Syukur perekonomian semakin baik secara global maupun Indonesia sendiri yang diperkuat dengan kenaikan harga komoditas, adanya program tax amnesty dan regulasi yang berpihak ke sektor properti, sehingga 2017 pengembang mulai `bernafas` dengan naiknya permintaan," kata Tomi yang juga Wakil Sekjen DPP REI.
Khusus pengaruh regulasi yang mendorong tumbuhnya permintaan properti, ujar Tomi adalah turunnya suku bunga kredit dan diubahnya aturan "loan to payment" (LTP) atau uang muka pembelian perumahan.
Dia menjelaskan, meski naik sekitar 20 persen, diakui pertumbuhan tetap terbesar untuk rumah menengah ke bawah yang memang pasarnya /kebutuhannya masih cukup besar.
"Tetapi bedanya 2017 mendatang, permintaan rumah menengah ke atas juga ikut lebih bergerak tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya," katanya.
Kondisi itu tentunya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pengembang.
Ketua REI Sumut, Umar Husin, menyebutkan, Kebijakan Paket Ekonomi XIII yang antara lain mempermudah proses perizinan perumahan MBR semakin mendorong permintaan rumah di tipe itu.
Kebijakan itu juga semakin mendorong pengusaha membangun MBR, karena dengan kemudahan perizinan, maka biaya pembangunan semakin murah dan jangka waktu penyelesaian pembangunan juga bisa lebih cepat.
"Terus terang, selama ini masalah pembangunan rumah MBR dan non MBR adalah masalah perizinan dan termasuk sertifikasi yang memakan waktu lama/panjang yang membuat biaya membengkak serta mahalnya harga lahan dan pasokan jaringan listrik yang terbatas," kata Umar.