Medan, 13/3 (Antara) - Guru Besar Fisipol USU Prof M Arif Nasution mengemukakan, pasangan pejabat kepala daerah dan wakil kepala daerah sering mengalami "pecah kongsi" disebabkan faktor pembagian "jatah" yang dianggap tidak adil dan tidak proporsional.
"Umumnya, itu faktor utama pasangan kepala daerah 'pecah kongsi'," kata Arif Nasution di Medan, Rabu, ketika dipertanyakan tentang penyebab tidak harmonisnya pasangan kepala daerah.
Selama ini, kata Arif, wakil kepala daerah sering kurang diperhitungkan dan dianggap sebagai "pelengkap penderita" dari pejabat yang sedang berkuasa.
Kondisi itu menyebabkan seseorang yang menduduki posisi wakil kepala daerah sering tidak mendapatkan "jatah kue pembangunan" yang sesuai meski sosoknya cukup berpengaruh dalam pencalonan.
Karena itu, tidak mengherankan jika banyak wakil kepala daerah yang pecah kongsi dan tidak mendukung kebijakan pasangannya dalam pemerintahan.
Banyaknya wakil kepala daerah yang kurang diberdayakan tersebut tidak terlalu mengherankan disebabkan tidak adanya standar operasional prosedur (SOP) yang jelas tentang pembagian tugas dengan kepala daerah.
"Fungsi kepala daerah dan wakilnya memang diatur UU, tetapi secara umum. Sedangkan SOP secara teknis tidak ada," katanya.
Ia menambahkan, seringnya faktor "bagi-bagi jatah" itu menjadi masalah karena tidak dibahas sejak awal ketika pasangan pejabat tersebut disandingkan dalam pilkada.
Umumnya, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah sering merasa sungkan membahas masalah bagi-bagi jatah tersebut karena dianggap tabu dan melanggar kesantunan politik.
Namun setelah terpilih dan menjabat, faktor tersebut sangat penting dan dominan sehingga sering menimbulkan perpecahan jika porsi yang didapatkan dianggap tidak adil dan tidak proporsional.
Kemudian, kata dia, faktor lain yang menyebabkan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi disebabkan tidak adanya kesamaan visi dan misi dalam menjalankan pemerintahan.
Apalagi dalam kenyataan yang banyak terjadi, pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut bukan berasal dari satu parpol, melainkan koalisi dari parpol yang berbeda aliran dan asas.
"Mereka 'dikawinkan' atas kehendak parpol, bukan karena kesamaan visi dan misi," kata mantan Dekan Fisipol USU itu.
Sebelumnya, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan, pihaknya mencatat sekitar 94 persen pasangan kepala daerah serta wakilnya "pecah kongsi" di tengah jalan sehingga berimbas tidak efektifnya pemerintahan dan pembangunan di daerah.
"Data Mendagri, dari 868 daerah yang akur hanya 52 pasangan saja. Selebihnya 'pecah kongsi'. Jadi 94 persen kepala daerah pecah kongsi," katanya pada dialog kenegaraan di DPD RI Senayan Jakarta, Rabu. ***1***
(T.I023/B/S. Muryono/S. Muryono)