Medan (ANTARA) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) menuntut dua tahun penjara terhadap oknum notaris di Kota Medan, yakni terdakwa Adi Pinem (60), karena melakukan tindak pidana pemalsuan akta otentik.
"Terdakwa Adi Pinem selaku Notaris/PPAT dituntut pidana penjara selama dua tahun,” kata JPU Randi Tambunan di Pengadilan Negeri Medan, Senin (2/6).
Dia menegaskan terdakwa Adi Pinem dinilai terbukti bersalah melakukan pemalsuan akta otentik secara bersama-sama sebagaimana Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam perkara ini, lanjut JPU Randi, ada dua terdakwa lainnya, yakni Lie Yung Ai (berkas terpisah) dan Karim Tano Tjandra yang masih berstatus DPO (daftar pencarian orang).
“Untuk terdakwa Lie Yung Ai dalam keadaan sakit, jadi belum masuk tahap tuntutan. Sedangkan Karim Tano Tjandra masih DPO,” jelas JPU Randi.
Sebelumnya persidangan beragendakan pembacaan nota pembelaan (pledoi) dari terdakwa Adi Pinem dan penasehat hukumnya.
Setelah pledoi dibacakan, Hakim Ketua Jon Sarman Saragih menunda persidangan hingga pekan depan dengan agenda replik dari penuntut umum.
“Sidang ditunda dan dilanjutkan pada Selasa (10/6) dengan agenda replik dari penuntut umum,” ujar Jon Sarman.
JPU Randi dalam surat dakwaan menyebutkan bahwa terdakwa Adi Pinem bersama-sama dengan Lie Yung Ai dan Karim Tano Tjandra melakukan pemalsuan dua akta penting pada tahun 2020 di Kantor Notaris Adi Pinem, Jalan Kolonel Sugiono Nomor 10-B, Kecamatan Medan Maimun, Kota Medan.
Pemalsuan dilakukan dengan membuat akta bertanggal mundur, yaitu Akta Nomor 57 tanggal 29 Oktober 2001 dan Akta Nomor 58 tanggal 29 November 2001, untuk memberikan legalitas palsu terhadap kepemilikan dan susunan pengurus PT PERKHARIN.
“Proses ini bermula dari pertemuan antara Karim dan saksi Sonny Wicaksono (telah divonis dalam putusan berkekuatan hukum tetap), yang membahas sengketa saham PT. First Mujur Plantation & Industry,” ujar dia.
Karim kemudian meminta terdakwa Adi Pinem membuat akta dengan mencantumkan data fiktif dan tanggal yang dimundurkan, meski akta-akta tersebut tidak memiliki dasar dokumen sah atas kepemilikan saham oleh Karim.
Adi Pinem juga melibatkan stafnya dalam proses pengetikan serta mengatur penghadap palsu dalam dokumen, yang sebenarnya merupakan karyawan Karim. Pertemuan untuk membahas isi akta juga dilakukan di kantor PT. Gunung Bangau, Medan.
Sebagai imbalan atas perbuatannya, Adi Pinem menerima pembayaran jasa sebesar Rp10 juta dari Lie Yung Ai, staf PT. Gunung Bangau, setelah akta-akta tersebut diserahkan kepada yang bersangkutan.
Akta-akta palsu ini kemudian digunakan oleh Sonny Wicaksono dalam gugatan perdata di Pengadilan Negeri Medan Nomor: 16/Pdt.G/2022/PN.Mdn, yang menyatakan dirinya sebagai Direktur PT. PERKHARIN.
Namun posisi tersebut secara sah dipegang oleh Hendi Lukman berdasarkan Akta Pendirian Nomor 16 Tahun 2000 yang disahkan Menteri Kehakiman dan HAM RI.
Hendi Lukman selaku saksi korban tidak pernah memberikan kuasa kepada Sonny maupun kuasa hukumnya untuk mengajukan gugatan tersebut.
“Dua akta buatan terdakwa Adi Pinem tidak pernah terdaftar dalam Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Kemenkumham, dan bertentangan dengan data resmi yang tercatat dalam sistem tersebut. Hal ini diperkuat oleh keterangan ahli dari Kemenkumham RI, Rahayu Lestari Sukesih,” ungkapnya.
Akibat perbuatan para terdakwa, saksi korban Hendi Lukman selaku Direktur Utama PT. Permata Kharisma Indah mengalami kerugian materiil berupa biaya operasional dalam proses hukum atas gugatan Perkara Nomor: 16/Pdt.G/2022/PN.Mdn tertanggal 7 Januari 2022.
“Perbuatan terdakwa juga menimbulkan ketidaknyamanan kepada saksi korban Hendi Lukman karena adanya potensi tuntutan hukum dari pihak yang membeli saham milik PT Permata Kharisma Indah di PT Barumun Agro Sentosa,” jelasnya.