Jakarta (ANTARA) - Tidak banyak jurnalis, khususnya jurnalis Perum LKBN ANTARA--Kantor Berita Indonesia, yang pernah merasakan atau melewati pengalaman seperti seorang Azhari (57 tahun).
Memulai kariernya sebagai pewarta ANTARA pada 1997 dengan status "pembantu koresponden" di Aceh, pria kelahiran Banda Aceh itu harus menunaikan pekerjaan di tengah dua peristiwa besar nan memilukan di kampung halamannya yakni konflik Aceh dan tsunami.
Pada dua kejadian itu, Azhari harus menyelesaikan kewajiban di tengah-tengah situasi mencekam. Dia pernah bekerja di bawah letusan senjata yang mengancam nyawa serta pada saat terjangan tsunami yang merenggut jiwa kedua orang tua dan saudara-saudara kandungnya.
"Saya ingin membagikan pengalaman itu. Selain menjadi warisan untuk keluarga," ujar Azhari suatu kali di ruang redaksi Kantor Perum LKBN ANTARA Biro Sumatera Utara di Medan.
Hasilnya, pada Sabtu, 4 Januari 2025, Azhari berhasil mewujudkan keinginannya dan meluncurkan buku autobiografi berjudul "Terlahir Sebagai Jurnalis Antara".
Bukunya memang tidak tebal, hanya sekitar 101 halaman berikut kata pengantar dan testimoni-testimoni. Namun, isinya menangkap momen-momen penting yang menunjukkan bahwa penulisnya memiliki satu hal ini: dedikasi. Dedikasi terhadap NKRI, terhadap tempatnya bekerja yakni Perum LKBN ANTARA dan, tentu saja, dedikasi terhadap profesi yang dijalankannya.
Sepanjang mata merunut kalimat demi kalimat di buku "Terlahir Sebagai Jurnalis Antara", pembaca dapat menyimpulkan bahwa Azhari adalah jurnalis yang tidak pernah berpikir dua kali ketika bertugas atau saat "mencium" aroma berita dalam sebuah peristiwa.
Sebagai manusia, Azhari tentu memiliki kekhawatiran dan ketakutan. Akan tetapi, sebagai jurnalis, dia harus meredam perasaan itu.
Azhari mengisahkan bagaimana dirinya langsung berangkat begitu pimpinannya di Perum LKBN ANTARA Biro Aceh menugaskan ke Lhokseumawe, salah satu "titik panas" pertempuran antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI di Aceh pada tahun 1999.
"...di wilayah pantai timur Aceh, mulai dari Pidie, Bireuen, Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sampai Aceh Timur, hampir setiap hari ditemukan jasad manusia yang tewas dengan luka tembak, dibacok dan dianiaya, yang sebelumnya dinyatakan hilang", tulis Azhari getir.
Azhari berkisah, sebelum berangkat, dirinya pulang ke rumah untuk mengambil pakaian dan beberapa barang. Di sana, dia meminta izin kepada ayah dan ibunya yang membalasnya dengan doa.
Dukungan penuh orang tua membuat Azhari semakin kuat mengarungi pekerjaannya. Meliput dalam situasi konflik bersenjata tentu saja tidak mudah. Azhari menggambarkan hal itu di dalam bukunya.
Kesulitan mendapatkan informasi, pernyataan dari pihak-pihak terkait menjadi salah satu rintangan yang mesti dihadapi. Belum lagi memikirkan keselamatan diri sendiri.
Meski begitu, berbekal kehausannya akan merampungkan tugas, Azhari yang dapat membuat produk berita teks dan foto mampu melalui konflik Aceh hingga tercapai kesepakatan damai pada tahun 2005.
Azhari menekankan bahwa konflik hanya akan menimbulkan banyak kerugian. Basis itulah yang menjadi landasan Azhari dalam menghasilkan karya selama konflik Aceh.
"Sebagai kantor berita nasional, LKBN Antara Biro Aceh terus memainkan perannya sebagai media penyeimbang dalam menyikapi konflik Aceh dengan tetap menjaga netralitas, berpihak kepada kepentingan nasional, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," tulis Azhari.
Tsunami
Sebelum konflik Aceh sukses diredam, tepatnya pada pagi hari 26 Desember 2004, terjadi gempa besar di provinsi tersebut.
Azhari panik, tetapi tidak hilang fokus. Pertama kali, dia memikirkan keadaan keluarganya. Setelah itu, dia langsung konsentrasi untuk membuat berita. Azhari bahkan sempat mengambil beberapa foto dan menelepon ke Kantor Pusat Perum LKBN ANTARA di Jakarta untuk melaporkan kejadian gempa besar di Aceh.
Namun, sebelum menyelesaikan teleponnya dengan salah satu redaktur di Jakarta, Azhari bersama istri dan anak pertamanya, Fadhil, berlari ke luar rumah karena gempa nyaris merobohkan kediaman mereka.
Naluri ayah Azhari bergejolak. Dia mengambil keputusan cepat untuk menyelamatkan sang istri, yang sedang mengandung anak kedua, dan putranya, dengan membawa mereka ke tempat aman dengan mobil.
Azhari melukiskan momen tersebut seperti "kiamat". Gempa mengakibatkan air laut meninggi. Orang-orang minta tolong, berlarian ke sana ke mari demi menyelamatkan diri. Tsunami tiba.
Di tengah kondisi seperti itu pun, Azhari masih berusaha menghubungi Kantor Pusat ANTARA di Jakarta dengan telepon selulernya, sambil satu tangan lain mengendalikan setir mobil. Dia baru berhenti ketika istrinya meminta untuk berhenti memegang telepon.
Hasrat jurnalistiknya semakin menggebu begitu menyaksikan korban bergelimpangan di jalanan. Bangunan hancur di mana-mana. Azhari tahu, situasi tersebut mesti dikabarkan secepatnya ke seluruh Indonesia.
Sayangnya, keinginan tersebut tertunda lantaran Azhari terkurung dalam duka. Ayah dan ibunya, beserta abang dan dua adiknya, serta 12 anggota keluarganya yang lain meninggal dunia akibat tsunami.
Awan gelap yang menaungi Azhari membuatnya gundah, tetapi lagi-lagi tidak menghilangkan dedikasinya sebagai jurnalis Perum LKBN ANTARA.
Di dalam dukanya, Azhari berkoordinasi erat dengan tim ANTARA yang datang dari Jakarta untuk melakukan peliputan.
Azhari pun memberikan rumahnya di Banda Aceh untuk menjadi kantor darurat ANTARA. Setelah kantor dadakan itu beroperasi, Azhari pun melakukan kembali tugasnya sebagai wartawan yakni mencari berita.
Untaian cerita Azhari dalam bukunya tertuang dengan detail. Dari sana, pembaca tidak hanya mengetahui gejolak dirinya sebagai jurnalis, tetapi juga situasi yang terjadi saat itu.
Pembaca pun jadi terhanyut dengan deskripsinya yang menari-nari di antara kata. Kisahnya yang mengalir mengantarkan pembaca ke petualangan seorang jurnalis yang merangkak dari bawah, melewati beragam rintangan, hingga mengisi banyak posisi penting di Perum LKBN ANTARA.
Dedikasi dan ketotalannya dalam bekerja untuk ANTARA membuat karier Azhari melejit hingga sempat menjabat Sekretaris Perusahaan Perum LKBN ANTARA pada tahun 2023. Itu merupakan jabatan karier tertinggi di kantor berita yang sudah berdiri sejak 13 Desember 1937 itu.
Dia pun mengisi kursi kepala biro di empat provinsi yakni Jambi (2015-2016), Sumatera Barat (2016-2018), Aceh (2018-2022), dan Sumatera Utara (2024-sekarang).
Saat berstatus kepala biro, Azhari dikenal dengan pimpinan yang piawai dalam menangani konflik. Dia selalu berhasil menyelesaikan beragam persoalan rumit di biro yang membuatnya dijuluki kepala biro "cuci piring".
Pada akhirnya, buku "Terlahir Sebagai Jurnalis Antara" layak menjadi salah satu warisan jurnalistik yang dapat dikaji dan dipelajari oleh pewarta-pewarta muda, khususnya para pewarta Perum LKBN ANTARA.
Tidak ada yang sempurna. Pustaka ini pun tidak lepas dari kekurangan. Salah satu yang paling terasa berada di cerita beberapa peristiwa yang seharusnya dapat digali lebih dalam.
Selebihnya, buku ini layaknya sebuah prasasti yang selalu penting untuk dilihat kembali bahkan ketika masa sudah berganti-ganti.
Judul: "Terlahir Sebagai Jurnalis Antara"
Penulis: Azhari CMC
Jumlah Halaman : 101 halaman
Penerbit: UMSU Press
Publikasi: 2025.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: "Terlahir Sebagai Jurnalis Antara", autobiografi perekam dedikasi