Medan (ANTARA) - Pemerintah dan warga Sumatera Utara berbangga hati di peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2020, karena salah satu gubernur provinsi itu (Gubernur Sumut pertama) yakni Sutan Mohammad (SM) Amin Nasution (dulu dikenal Mr S.M Amin) mendapat gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Joko Widodo.
Si fasilitator antara Presiden Soekarno dengan rakyat Aceh dalam pembelian pesawat pertama RI dan penggagas pencetakan Uang Republik Indonesia Sumatera Utara (URIPSU) lahir di Lhoknga, Aceh, 22 Februari 1904 mendapat gelar Pahlawan Nasional bersama enam tokoh lainnya.
Enam tokoh itu, yakni Sultan Baabullah dari Provinsi Maluku Utara, Machmud Singgirei Rumagesab-Raja Sekar (Papua Barat), Jenderal Polisi (Purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (DKI Jakarta), Arnold Mononutu (Sulawesi Utara) dan Raden Matahari Bintang Pangeran Kusen Bintang Adi (Jambi).
Sebelum mendapat gelar Pahlawan Nasional, data dari berbagai sumber menunjukkan, SM Amin juga mendapat beberapa gelar dari tiga Presiden RI, yakni Presiden Soeharto dan Presiden BJ Habibie dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Gelar Pahlawan Nasional untuk SM Amin, memang melalui proses panjang atau sejak tahun 2007.
Pemprov Sumut mengajukan nama SM Amin untuk mendapat gelar Pahlawan setelah melalui kajian panjang tentang perjuangannya untuk bangsa.
Upaya Pemprov Sumut akhirnya membuahkan hasil, SM Amin Nasution mendapat gelar Pahlawan Nasional di peringatan Hari Pahlawan, 10 November.
Pantas dapat gelar
Menurut sejarawan Sumut, Dr Phil Ichwan Azahari, SM Amin Nasution, memang pantas mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional karena banyaknya peran penting dan besar almarhum dalam perjuangan merebut dan mengisi kemerdekaan Indonesia.
SM Amin misalnya, menggerakkan perjuangan Republik Indonesia dari Aceh dan terus menjalankan eksistensi pemerintahan Provinsi Sumut. Ketika itu Aceh menjadi satu kesatuan dengan Provinsi Sumut
Pada masa pergolakan awal revolusi yang sulit, Amin bersedia meninggalkan profesinya sebagai pengacara untuk menjadi Gubernur Muda Sumut yang ditetapkan Wakil Presiden Mohammad Hatta .
Dia dilantik di Pematang Siantar pada tanggal 14 April 1947, saat Kota Medan diduduki Sekutu.
Saat Sekutu menduduki Pematangsiantar pada tanggal 29 Juni 1947, SM Amin sempat ditahan oleh Belanda karena dianggap sebagai gubernur pemerintahan RI yang dianggap ilegal.
"Peristiwa itu sangat heroik dimana dalam keadaan yang sangat genting pun SM Amin terus mengupayakan eksistensi Provinsi Sumut dengan melakukan perundingan," katanya.
Setelah itu, SM Amin mengungsi ke Kutaradja, Aceh, dan mengatur strategi menjalankan pemerintahan sipil Provinsi Sumut di pengungsian.
Tapi saat kembali ke Pematang Siantar pada Oktober 1947, sebagai Gubernur Muda Sumut, Amin kembali ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Medan.
Tapi dalam tahanan Belanda, dia menolak untuk mencopot jabatannya sebagai gubernur dan tetap menyatakan dia gubernur dari Republik yang sah.
Setelah berhasil melarikan diri dari tahanan Belanda, SM Amin menyeberang ke Penang, untuk kemudian kembali ke Aceh dan menggerakkan perjuangan Republik Indonesia dari Aceh dan terus menjalankan eksistensi pemerintahan Provinsi Sumut.
Setelah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tentang pembagian Provinsi Sumatera disahkan, Amin ditetapkan sebagai gubernur penuh untuk Provinsi Sumut yang dilantik langsung oleh Presiden Soekarno tanggal 18 Juni 1948 di Kutaradja.
"Banyak kebijakan penting yang telah diputuskan oleh Amin untuk menjaga eksistensi pemerintahan sipil Provinsi Sumut tetap berjalan termasuk melantik anggota DPRD Sumut I di Tapak Tuan dan untuk kepentingan Indonesia," katanya.
Amin misalnya juga berperan sebagai fasilitator antara Presiden Soekarno dengan rakyat Aceh dalam pembelian pesawat pertama RI.
Amin melalui keputusan DPRD Sumut juga mengeluarkan kebijakan pencetakan Uang Republik Indonesia Sumatera Utara (URIPSU) dalam dua seri dengan angka nominal Rp250 pada tanggal 1 Maret 1949.
Amin diberhentikan sebagai Gubernur Provinsi Sumut, ketika Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijalankan pada Desember 1949 dan kemudian dialih tugaskan menjadi Komisaris Pemerintah untuk daerah Sumut pada tahun 1950.
Tetapi, pada tangga 22 Agustus 1952, Amin kembali diangkat sebagai Gubernur Sumut.
Amin kembali dipanggil untuk mengabdi di Sumut karena pada waktu itu terdapat goncangan kedaulatan RI yang cukup besar yakni adanya konflik-konflik di Aceh juga Sumut
Pada tahun 1956, masa pengabdiannya di Sumut diberhentikan dan kemudian dialihkan ke dalam Kabinet Menteri Dalam Negeri di Jakarta.
Melalui jabatannya di Kementerian Dalam Negeri, SM Amin menjadi salah seorang penggagas Otonomi Daerah pada waktu itu.
Atas seluruh prestasinya dalam kancah politik itu, Amin kemudian diangkat sebagai Gubernur pertama di Propinsi Riau dan dilantik pada tanggal 27 Februari 1958.
Selama menjabat sebagai Gubernur Riau, Amin memutuskan berbagai kebijakan penting antara lain membentuk Badan Penasehat Kepala Daerah Riau, mengatasi permasalahan akibat adanya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Merekrut pegawai pemerintahan dari putra putri daerah, membentuk panitia perguruan tinggi dan bea siswa, membentuk panitia Bank Pembangunan Daerah, membentuk panitia perancangan pembangunan daerah, dan menyusun konsepsi tentang perusahaan pelayanan daerah.
Amin juga sangat dikenal sebagai penulis dengan sedikitnya ada 15 buku yang ditulisnya.
Kenasionalan Amin, ujar Ichwan juga terlihat dari keinginanannya tidak menggunakan marga (Nasution)-nya
SM Amin Nasution. meninggal di Jakarta pada 16 April 1993, saat berumur 83 tahun dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Kebanggaan Sumut
Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi menyebutkan, penganugerahan SM Amin sebagai Pahlawan Nasional, menorehkan kebanggaan besar bagi dirinya sebagai Gubernur Sumut dan tentunya seluruh warga Sumut.
Dengan SM Amin Nasution mendapat penghargaan Pahlawan Nasional, Sumut sudah memiliki 13 pahlawan yang dideklarasikan pemerintah.
"Kembali adanya pahlawan dari Sumut diharapkan menambah motivasi warga Sumut untuk mengisi Kemerdekaan RI yang dengan susah payah direbut, " katanya.
Gelar Pahlawan Nasional yang diperoleh almarhum Amin, ujar Edy juga semakin menunjukkan bahwa warga dan pemerintahan Sumut memiliki peran besar juga dalam merebut dan mengisi kemerdekaan.
Edy menegaskan, anugerah gelar Pahlawan Nasional untuk SM Amin Nasution, merupakan perjalanan panjang sejak 2007.
Setelah melalui kajian panjang dan di seminarkan, pada 2009, Pemerintah Provinsi Sumut mengusulkan nama SM Amin untuk Pahlawan Nasional.
"Alhamdulillah, 10 November 2020, SM Amin mendapat gelar Pahlawan Nasional," ujarnya.
Gubernur mengakui belum ada satu monumen sejarah tentang SM Amin, seperti di Riau dengan salah satu penabalan nama jalan.
"Tentunya akan ada monumen yang mengingatkan sosok almarhum SM Amin. Walau tidak otomatis, gelar Pahlawan diharuskan membuat. monumen seperti patung dan lainnya, " ujar Edy.
Perjuangan dan semangat juang SM Amin itulah yang harus terus digelorakan di Sumut dan Indonesia secara keseluruhan.
Semangat mencintai bangsa dan negara itu yang harus diingatkan terus kepada generasi muda agar bisa mengisi kemerdekaan bangsa
.
Amin makan sedikit
Selain semangat juangnya yang tinggi , pintar bicara dan menulis, salah satu kebiasaan yang paling dengan keluarga, adalah kebiasaan Amin yang makannya selalu sedikit.
"Pak Amin makannya selalu sedikit dengan alasan untuk tetap sehat," ujar Aman salah satu keponakan SM Amin.
Aman yang berusia 83 tahun itu hadir di Rumah Dinas Gubernur Sumut mewakili ahli waris SM Amin yang di Jakarta.
Aman yang mantan Kepala Dinas Kesehatan Sumut dan dosen di Universitas Sumatera Utara (USU) itu, mengaku bahagia dan bersyukur dengan gelar Pahlawan Nasional untuk SM Amin.
"Saya kaget ketika ditelepon sepupu (anak kandung SM Amin) untuk. mewakili keluarga dalam pertemuan dengan Gubernur dan Wakil Gubernur di peringatan Hari Pahlawan," ujarnya.
SM Amin fasilitator pembelian pesawat I RI jadi Pahlawan Nasional
Selasa, 10 November 2020 18:18 WIB 1651