Ketua Tim Kerja Teknologi Kesehatan Direktorat Tata Kelola Kesehatan Kementerian Kesehatan dr. Wiwi Ambarwati MKM mengatakan ingin mendorong dokter klinik kandungan yang ada di daerah bekerja sama dengan rumah sakit yang ada di kota besar untuk meningkatkan pelayanan terhadap pasien yang mengalami infertilitas.
“Rumah sakit yang ada meskipun jumlahnya terbatas itu mereka bisa mengembangkan kerja sama dengan rumah sakit lain, jadi dokter daerah punya kerja sama dengan dokter atau rumah sakit yang memiliki layanan teknologi reproduksi berbantu (TRB/bayi tabung) jika mendapatkan pasien yang membutuhkan layanan tersebut,” kata Wiwi dalam diskusi kesehatan tentang infertilitas di Jakarta, Kamis.
Wiwi mengatakan saat ini masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan akses informasi dan pelayanan terkait infertilitas karena sebaran dokter yang juga belum merata di daerah. Dokter yang bisa melayani kasus infertilitas masih terpusat hanya di kota besar sehingga banyak pasangan yang tidak mengetahui bahwa mereka memiliki kondisi tidak subur.
Wiwi mengatakan data dari Kemenkes menunjukkan sekitar 10 persen pasangan usia subur mengalami kondisi sulit memiliki anak atau kondisi infertilitas karena layanan yang sangat minim di daerahnya.
Selain informasi yang kurang memadai, nyatanya masyarakat kota besar juga masih banyak yang memilih berobat ke luar negeri untuk mendapatkan layanan infertilitas karena di Indonesia biaya layanan bayi tabung masih cukup tinggi.
“Pelayanan bayi tabung ini masih relatif tinggi biayanya bagi masyarakat karena bahan obat-obatan masih impor dan pajaknya cukup tinggi, kalau di negara lain memungkinkan pajaknya lebih rendah jadi lebih murah, kalau pelayanan teknologi sebenarnya Indonesia tidak kalah,” kata Wiwi.
Selain itu, di luar negeri juga mudah untuk mendapatkan informasi mengenai klinik infertilitas dan menyediakan website untuk mengetahui kondisi pasangan yang mengalami masalah ketidaksuburan.
Namun tingginya angka keberhasilan bayi tabung di luar negeri tidak lepas dari praktik yang melegalkan donor rahim atau donor sperma yang tidak bisa diterapkan di Indonesia karena memperhatikan asas Etika, Legal, Sosial dan Isu (ELSI).
“Seluruh kebijakan di negara kita ada selalu memperhatikan ELSI, yang bisa mendapatkan bayi tabung hanya suami istri, kalau negara lain pasangan yang bukan suami istri pun bisa untuk mendapatkan layanan bayi tabung,” katanya.
Maka itu ia mengapresiasi Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia (PERFITRI) yang dapat mengembangkan informasi mengenai infertilitas berbasis website yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Ia berharap dengan adanya website yang dikembangkan ini memberikan manfaat yang besar pada masyarakat dan bisa tersebar sampai ke pelosok daerah dan perdesaan yang masih kurang peduli terhadap kondisi infertil.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kemenkes dorong dokter daerah tingkatkan layanan infertilitas
“Rumah sakit yang ada meskipun jumlahnya terbatas itu mereka bisa mengembangkan kerja sama dengan rumah sakit lain, jadi dokter daerah punya kerja sama dengan dokter atau rumah sakit yang memiliki layanan teknologi reproduksi berbantu (TRB/bayi tabung) jika mendapatkan pasien yang membutuhkan layanan tersebut,” kata Wiwi dalam diskusi kesehatan tentang infertilitas di Jakarta, Kamis.
Wiwi mengatakan saat ini masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan akses informasi dan pelayanan terkait infertilitas karena sebaran dokter yang juga belum merata di daerah. Dokter yang bisa melayani kasus infertilitas masih terpusat hanya di kota besar sehingga banyak pasangan yang tidak mengetahui bahwa mereka memiliki kondisi tidak subur.
Wiwi mengatakan data dari Kemenkes menunjukkan sekitar 10 persen pasangan usia subur mengalami kondisi sulit memiliki anak atau kondisi infertilitas karena layanan yang sangat minim di daerahnya.
Selain informasi yang kurang memadai, nyatanya masyarakat kota besar juga masih banyak yang memilih berobat ke luar negeri untuk mendapatkan layanan infertilitas karena di Indonesia biaya layanan bayi tabung masih cukup tinggi.
“Pelayanan bayi tabung ini masih relatif tinggi biayanya bagi masyarakat karena bahan obat-obatan masih impor dan pajaknya cukup tinggi, kalau di negara lain memungkinkan pajaknya lebih rendah jadi lebih murah, kalau pelayanan teknologi sebenarnya Indonesia tidak kalah,” kata Wiwi.
Selain itu, di luar negeri juga mudah untuk mendapatkan informasi mengenai klinik infertilitas dan menyediakan website untuk mengetahui kondisi pasangan yang mengalami masalah ketidaksuburan.
Namun tingginya angka keberhasilan bayi tabung di luar negeri tidak lepas dari praktik yang melegalkan donor rahim atau donor sperma yang tidak bisa diterapkan di Indonesia karena memperhatikan asas Etika, Legal, Sosial dan Isu (ELSI).
“Seluruh kebijakan di negara kita ada selalu memperhatikan ELSI, yang bisa mendapatkan bayi tabung hanya suami istri, kalau negara lain pasangan yang bukan suami istri pun bisa untuk mendapatkan layanan bayi tabung,” katanya.
Maka itu ia mengapresiasi Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia (PERFITRI) yang dapat mengembangkan informasi mengenai infertilitas berbasis website yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Ia berharap dengan adanya website yang dikembangkan ini memberikan manfaat yang besar pada masyarakat dan bisa tersebar sampai ke pelosok daerah dan perdesaan yang masih kurang peduli terhadap kondisi infertil.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kemenkes dorong dokter daerah tingkatkan layanan infertilitas