Kemudian, MK juga menolak gugatan uji materi Partai Garuda (Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023) dan sejumlah kepala daerah (Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023) yang memohon batas usia capres-cawapres diubah menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
“Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023, mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang,” kata dia.
Saldi mengatakan mahkamah memang pernah berubah pendirian dalam memutus suatu perkara, tetapi tidak pernah terjadi secepat ketika memutus Perkara Nomor 90 yang diklaimnya terjadi dalam hitungan hari.
Perubahan itu, kata dia, tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, tetapi juga didasarkan pada argumentasi yang kuat setelah mendapat fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.
“Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” ucap dia.
Lebih lanjut dia mengungkap bahwa ketika rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 pada tanggal 19 September 2023, RPH dihadiri oleh delapan hakim konstitusi kecuali Ketua MK Anwar Usman.
“Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51- 55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya memilih sikap berbeda (dissenting opinion),” ungkapnya.