Jakarta (ANTARA) - Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB) I Gusti Ayu Andani mengatakan, dampak krisis iklim tak hanya sebatas peningkatan suhu bumi tapi juga hal-hal lainnya di bidang ekonomi hingga politik.
"Kalau kita lihat, dampak krisis iklim itu tidak hanya sebatas peningkatan suhu, tapi sudah ke mana-mana, karena bumi itu sistem yang terkoneksi satu sama lain," kata Andani saat bertemu media di Jakarta, Senin.
Jika terjadi bencana seperti banjir atau kekeringan akibat krisis iklim misalnya, hal tersebut akan membuat para petani gagal panen yang pada akhirnya menyebabkan komoditas kurang dan harga naik.
Ketika komoditas kurang dan harga naik, masyarakat bisa jadi mengurangi volume belanja.
"Misalnya cabai. Kita tahu bahwa khasanah kuliner kita sangat erat dengan cabai, jangan-jangan hilang itu sambal matah atau sambal dabu-dabu, jadi kita kehilangan identitas budaya kita," ujar Andani.
Selain itu, kurangnya komoditas yang ada di dalam negeri juga membuat pemerintah terpaksa harus melakukan impor. Jika impor tidak seimbang dengan ekspor, kata dia, yang terjadi adalah melemahnya nilai tukar rupiah.
"Jadi harga barang naik, daya beli turun, usaha menjadi gulung tikar, terjadi PHK. Ketika terjadi PHK, pengangguran meningkat, kriminalitas meningkat, konflik sosial di mana-mana. Ketika terjadi konflik sosial, muncul ketidakpercayaan kepada pemerintah, dan terjadi gejolak politik," tutur Andani.
"Jadi ada krisis multidimensi yang terjadi akibat kekeringan. Ini baru kekeringan saja. Bayangkan kalau yang lain-lain juga terakumulasi," imbuhnya.
Andani pun menekankan pentingnya mengatasi krisis iklim. Menurut dia, hal tersebut dapat dilakukan oleh setiap individu melalui langkah-langkah kecil seperti menggunakan produk yang lebih ramah lingkungan, beralih ke kendaraan listrik, menggunakan transportasi umum, hingga membiasakan bersepeda atau berjalan kaki alih-alih menggunakan kendaraan jika ingin bepergian jarak dekat.
Kemudian, mulai biasakan memilah sampah, mengurangi plastik, menggunakan sedotan yang terbuat dari logam atau bambu, dan menjalani gaya hidup minimalis dengan bijak mengatur pengeluaran terutama ketika berbelanja fast fashion.
"Atau kalau mau bangun rumah, sirkulasinya diperbaiki sehingga kita tidak perlu menggunakan AC terus menerus," kata Andani menambahkan.
Selain itu, menurut Andani, sistem bekerja dari rumah (work from home/WFH) juga sebetulnya dapat menjadi budaya yang baik untuk mengendalikan krisis iklim, sebab dapat mengurangi polusi dan kemacetan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dampak krisis iklim tak hanya sebatas peningkatan suhu bumi