Medan (ANTARA) - Setelah tahun lalu menjadi satu-satunya yang bukan wisudawan namun dipanggil naik podium untuk menerima penghargaan Daniel Edward Wark Award, kini Fira Fatmasiefa kembali naik ke panggung sebagai satu-satunya wisudawan yang dianugerahi penghargaan Dorothea-Klumpke Roberts Prize.
Dorothea-Klumpke Roberts Prize merupakan penghargaan prestisius untuk mahasiswa-mahasiswa elite dengan prestasi akademik yang luar biasa. Termasuk di dalam penghargaan ini adalah hadiah beasiswa sebesar 1.000 dollar Amerika Serikat (AS).
Fira adalah mahasiswi jurusan Astrofisika di University of California Berkeley. Ada kemungkinan Fira adalah anak Indonesia pertama yang menyandang gelar S1 Astrofisika dari universitas di Amerika.
Ia adalah anak pertama dari pasangan Dr Gede Pardianto yang kini bekerja di Rumah Sakit Mata SMEC Medan dan Dr Diyah Purworini yang merupakan dosen Akper Kesdam Medan. Sejak 2006 keluarganya "hijrah" dari Jawa Timur ke Medan, Sumatera Utara.
Fira adalah seorang "decorated student", mahasiswa berprestasi yang berhias penghargaan. Di awal-awal kuliahnya, ia dianugerahi Dean's Honorary List, Edward Kraft Award dan Cal Alumni Award atas index prestasi 4,00 dan 10 besar di fakultas pada semester pertama.
Berikutnya, gadis berhijab ini menerima banyak penghargaan dari International Office University of California Berkeley, dari Department of Astronomy UC Berkeley, juga dari Two Sigma dengan total hadiah beasiswa lebih dari 80.000 dollar AS atau lebih dari Rp1,2 miliar.
Beasiswa sebesar itu sungguh sangat menolong, mengingat Fira berjuang dengan biaya sekolah dan juga biaya hidup di Amerika, dan tentu saja semua penghargaan itu sangat mengharukan.
Gadis kelahiran Surabaya, 9 Juni 2000, ini selama kuliah berpengalaman bekerja di tiga tempat prestisius di bawah naungan University of California Berkeley.
Pertama, di Lawrence Hall of Science (LHS), tempat yang menerima dia bekerja sejak semester kedua. LHS adalah lembaga yang menjembatani anak-anak, pelajar dan orang awam untuk lebih memahami ilmu pengetahuan, serta menghubungkan keilmuan Berkeley agar lebih membumi dan dipahami oleh masyarakat luas. Selama awal masa pandemi, Fira tetap bekerja secara daring untuk LHS, dengan memproduksi lebih dari 50 video edukasi online bagi lembaga ini.
Kedua, tempat Fira bekerja adalah Space Sciences Laboratory (SSL), lembaga antariksa ternama yang berkontribusi dalam lebih dari 50 misi penting NASA dan membantu misi luar angkasa banyak negara ke antariksa.
Di lembaga ini Fira berhasil melakukan penelitian di bawah bimbingan Dr Solene Lejosne (ilmuwan dari Perancis) tentang sabuk magnetik bumi yang karyanya dipublikasikan melalui jurnal ilmiah terkemuka, Journal of Geophysical Research, yang diterbitkan oleh Wiley Blackwell dan lembaga American Geophysical Union (AGU).
Terakhir tempat kerja ketiga adalah Lawrence Berkeley National Laboratory (LBNL), sebuah institusi yang sangat bergengsi, dengan puluhan Nobel Prize muncul dari institusi ini, yang juga 16 unsur dalam tabel periodik kimia ditemukan di sini atau dengan bantuan instutusi ini.
Di LBNL, sulung dari dua bersaudara ini bekerja menjadi salah seorang asisten riset Dr Saul Perlmutter (profesor Astrofisika peraih Nobel bidang fisika tahun 2011) untuk meneliti supernova atau ledakan bintang raksasa.
Fira juga pernah menjadi asisten penelitian bagi Dr Michael Rich, profesor Astrofisika dari University of California Los Angeles (promotor doktoral dari Dr Neil deGrasse Tyson) yang meneliti planet2 di luar tata surya (exoplanets).
Bakat sejak kecil
Sejak kecil Fira telah banyak mengikuti lomba ilmiah. Sejak sekolah dasar telah puluhan medali dan trofi ia menangkan di tingkat regional, nasional dan internasional. Termasuk dua medali emas di Jerman, juga Korea, serta banyak medali di Australia dan Amerika, yang dipersembahkannya untuk Indonesia.
Fira juga pernah menjadi ketua tim peneliti dari SMA-nya untuk satu proyek riset luar angkasa (microgravity space research projects) selama rentang 2017-2018, yang modul penelitiannya (microlab) kemudian diterbangkan oleh NASA ke stasiun luar angkasa internasional (ISS) dan hasil penelitiannya memperoleh penghargaan honorable mention di konferensi American Society of Gravitational and Space Research (ASGSR) tahun 2018, sebuah pencapaian yang tinggi bagi pelajar SMA dari luar AS.
Sejak usia 10 tahun Fira tertarik dengan banyak film dokumenter tentang antariksa, salah satu tokoh idolanya adalah Profesor Alex Filippenko dari University of California Berkeley. Segala puji bagi Tuhan, kini Fira benar-benar menjadi mahasiswi Berkeley, menjadi murid kepercayaan profesor idolanya, juga dipercaya menjadi Presiden of Undergraduate Astro Society (UAS) dan lulus dengan banyak penghargaan.
Fira, anak Indonesia, bukan anak Amerika, tapi dengan izin dan kehendak Tuhan ia diterima, diperhatikan dan dihargai dengan banyak penghargaan yang tinggi.
Selama kuliah, Fira juga telah menerbitkan sebuah buku berbahasa Inggris setebal 400 halaman.
Ke depannya Fira ingin berbakti untuk Indonesia melalui banyak kontribusi dengan membantu banyak pelajar Indonesia agar dapat belajar di Amerika, menjadi penghubung bagi ilmuwan Indonesia dengan ilmuwan Amerika, membantu membina kerja sama pendidikan, riset dan publikasi ilmiah antara institusi dan universitas-universitas terbaik dari Indonesia dengan institusi dan universitas-universitas top Amerika.
Ia juga ingin menjadi dosen terbang, melakukan edukasi bagi generasi muda bangsa, sembari terus membawa nama bangsa untuk berkontribusi dalam keilmuan antariksa dunia dan semoga satu saat nanti, jika Tuhan menghendaki, memenangkan Nobel bidang fisika untuk Indonesia.