Simalungun (ANTARA) - Dua ttim peneliti menilai, Keramba Jaring Apung (KJA) di perairan kawasan Danau Toba, Sumatera Utara mampu memberikan efek berganda ekonomi yang cukup besar.
Peneliti kajian Daya Dukung dan Daya Tampung Danau Toba bersama peneliti dari CARE LPPM IPB menyampaikan, KJA menjadi usaha penopang bagi masyarakat sekitar dan mampu bertahan di masa pandemi.
Peneliti dari CARE LPPM IPB, Prof Parulian, dan Dr Dahri Tanjung, pada rilis Kamis (8/12), menyebutkan, perputaran uang dari hasil budi daya ikan mendekati Rp5 triliun per tahun.
Hasil itu, dapat mengurangi ketimpangan sosial ekonomi masyarakat dan antar wilayah antar kelompok.
Guru Besar USU, Prof Ternala Barus menyampaikan, kegiatan budi daya perikanan dapat dilakukan dengan syarat mengedepankan tata kelola pembangunan berkelanjutan, di mana aspek ekonomi, sosial dan lingkungan berjalan beriringan.
Salah satu dengan mematuhi zona budidaya ikan KJA sesuai dengan Perpres Nomor 81/2014, sebutnya.
Prof Ternala Barus mengatakan, hasil kajian penelitiannya diinisiasi Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara tahun 2022, DDDT Danau Toba sebesar 55.083,16 ton per tahun.
Untuk itu, peneliti minta SK Gubernur Sumatera Utara Tahun 2017 tentang Daya Dukung Daya Tampung (DDDT) Danau Toba sebesar 10.000 per tahun direvisi menjadi 60.000 ton per tahun.
Staf Ahli Gubernur Sumatera Utara Bidang Polhukam Binsar Situmorang mengatakan, saat ini pemerintah daerah kawasan Danau Toba tengah melakukan penataan dan penertiban KJA merujuk SK Gubsu tahun 2017.
Kebijakan ini untuk menjaga keseimbangan kualitas perairan Danau Toba yang pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia, terutama pemukiman penduduk, peternakan, pertanian, perindustrian dan perdagangan termasuk hotel, restoran serta kegiatan transportasi air.
Begitu pun, hasil penelitian dan kajian terbaru Dinas Lingkungan Hidup Sumut tersebut akan dijadikan pertimbangan dan rujukan utama dalam melakukan peninjauan ulang terhadap peraturan penataan KJA dan SK Gubernur Sumut.