Jakarta (ANTARA) - Penggunaan plastik sintetik telah menyebabkan permasalahan limbah plastik dalam kehidupan sehari-hari. Limbah plastik tidak hanya menjadi sumber pencemaran di daratan, bahkan makin banyaknya limbah plastik yang terbuang ke lautan telah menyebabkan fenomena mikroplastik.
Fenomena mikroplastik yang mencemari lautan Indonesia mengakibatkan juga cemaran terhadap biota laut yang bersifat karsinogen.
Limbah plastik juga tidak dapat diurai oleh mikroorganisme di tanah dan yang ada di air dalam kurun waktu hingga puluhan tahun. Selain merusak atau mencemari lingkungan, limbah plastik juga dapat menjadi ancaman bagi kesehatan.
Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan plastik dan kemasan yang lebih ramah lingkungan.
Baca juga: Harga CPO tertekan dampak munculnya varian baru COVID-19
Plastik konvensional yang beredar di masyarakat sebagai plastik kemasan umumnya berasal dari polimer sintetik yang dibuat dari minyak bumi.
Dengan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, sesungguhnya biomassa dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku polimer alami pengganti polimer sintetis, seperti pati, lignin, selulosa, protein, poliasam laktat, dan minyak nabati.
Menurut profesor riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Agus Haryono, penelitian tentang pemanfaatan dan pengembangan material polimer yang berbasis pada penggunaan sumber daya alam terbarukan dan ramah lingkungan untuk diaplikasikan sebagai bahan baku industri polimer merupakan potensi yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Pemanfaatan material tersebut dapat mengatasi dua masalah utama, yaitu masalah lingkungan yang berhubungan dengan limbah yang dihasilkan dan mengurangi penggunaan bahan baku (substitusi) yang berasal dari bahan baku fosil.
Kedua masalah tersebut telah mendorong perlunya mencari material alternatif berbasis sumber daya alam terbarukan, ramah lingkungan, dan dapat terurai di lingkungan (biodegradable).
Salah satu sumber bahan baku biopolimer yang dapat dimanfaatkan adalah minyak kelapa sawit (crude palm oil) dari tanaman kelapa sawit.
Pelentur plastik
Minyak kelapa sawit bisa terdegradasi secara biologis di alam. Di sisi lain, potensi biomassa sawit Indonesia dapat dimanfaatkan untuk bahan tambahan (aditif) atau bahan kemasan plastik biodegradable yang aman terhadap kesehatan serta ramah lingkungan.
Sebagaimana diketahui Indonesia merupakan produsen utama minyak kelapa sawit dengan kontribusi mendekati 50 persen dari total produksi dunia. Indonesia juga sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar sejak 2007.
Salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah kelapa sawit adalah dengan mengolah produk turunannya menjadi zat pelentur plastik ramah lingkungan (bioplasticizer) yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kemasan yang lebih ramah lingkungan.
Plasticizer turunan minyak sawit memiliki beberapa sifat yang menarik seperti tidak beracun, biodegradable, sifat tahan panas yang baik, stabilitas cahaya, terbarukan, dan ramah lingkungan.
"Senyawa turunan minyak sawit memiliki potensi yang besar untuk digunakan sebagai bioplasticizer pada plastik PVC yang lebih aman bagi kesehatan dan lebih ramah lingkungan," kata Agus dalam orasi pengukuhan profesor risetnya yang berjudul Modifikasi Struktur Makromolekul untuk Optimalisasi Sifat Mekanik dan Termal pada Kemasan Ramah Lingkungan berbasis Bioplasticizer Turunan Kelapa Sawit.
Berdasarkan American Standard Testing and Material (ASTM), plasticizer merupakan zat yang dicampurkan ke dalam plastik untuk meningkatkan fleksibilitas dan kemampuan kerja.
Plasticizer biasanya ditambahkan ke dalam PVC untuk membuatnya cukup fleksibel dalam membuat barang-barang seperti mainan, kemasan fleksibel, dan kantong darah.
Sebagian besar plastik PVC yang digunakan masyarakat menggunakan plasticizer berbasis minyak bumi, seperti dioctyl phthalate (DOP), di-2-ethylhexyl phthalate (DEHP), dan dibutyl phthalate (DBP).
Yang menjadi masalah adalah potensi migrasi senyawa toksik plasticizer tersebut ke dalam darah, cairan obat tertentu, atau pada makanan berlemak.
Ramah lingkungan
Plasticizer komersial seperti DEHP dapat lepas atau bermigrasi dari PVC ke dalam darah, larutan obat tertentu, dan makanan berlemak. Migrasi DEHP pada aliran darah pasien terdeteksi pada saat dilakukan transfusi darah.
DEHP dan beberapa senyawa ftalat lainnya diketahui menyebabkan penyakit kanker pada percobaan di tikus. Sementara paparan pada manusia hingga menyebabkan penyakit kanker saat ini masih dalam diskusi yang hangat dalam penelitian.
Riset yang dilaksanakan oleh pelaksana tugas Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Teknik BRIN itu telah berhasil melakukan modifikasi struktur komponen minyak sawit untuk dijadikan sebagai alternatif plasticizer pengganti DEHP.
Modifikasi stuktur kimia ke dalam stuktur senyawa makromolekul dapat memberikan potensi pemanfaatan berbagai komponen minyak sawit menjadi material dengan berbagai fungsi, di antaranya kemasan ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan.
Sifat termal, sifat mekanik, dan sifat biodegradasi pada biopolimer sawit dapat dikontrol secara optimum menjadi material yang berkinerja tinggi.
Dengan berbasis riset dan inovasi, minyak kelapa sawit dapat diolah menjadi bahan baku polimer yang ramah lingkungan yang bermanfaat salah satunya untuk membuat kemasan, sehingga diharapkan dapat menggantikan bahan polimer kimia yang tidak ramah lingkungan.
Hasil temuan penting tentang bioplasticizer dari turunan minyak sawit juga sangat berpeluang untuk diaplikasikan pada industri kemasan kantong darah sebagai pengganti plasticizer konvensional yang berbahaya bagi kesehatan.
Bioplasticizer turunan minyak sawit seperti 1,4-butanediol dioleate (BDO), isobutyl oleate (IBO), 2-ethyl hexyl oleat (EHO), dan isopropil oleat (IPO) dapat digunakan sebagai plasticizer sekunder untuk mengurangi atau menggantikan plasticizer DEHP yang merupakan senyawa turunan dari minyak bumi.
Dengan begitu, proses migrasi senyawa plasticizer dari plastik kemasan ke dalam produk makanan atau minuman dapat dihindari. Itu juga bermanfaat untuk mengurangi toksisitas dan risiko dampak lingkungan hidup akibat proses migrasi tersebut.
Minyak kelapa sawit dan biomassa sawit dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku biopolimer, biokomposit, dan bioaditif. Melalui proses modifikasi struktur makromolekul yang tepat, aplikasi menjadi optimal pada kemasan dan pelapis yang ramah lingkungan.
Nilai tambah
Limbah biomassa tandan kosong kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biokomposit, kemasan ramah lingkungan, dan sebagai bahan baku untuk pelapis yang ramah lingkungan (material coating).
Limbah tandan kosong kelapa sawit menjadi sumber serat selulosa dan lignin, yang merupakan material yang sangat potensial untuk sumber bahan baku bioplastik maupun biokomposit.
Pemanfaatan berbagai komponen kelapa sawit dan minyak kelapa sawit juga dapat meningkatkan nilai ekonomi dari industri kelapa sawit di Indonesia. Nilai tambah produk turunan minyak sawit akan meningkatkan nilai ekonomi perkebunan kelapa sawit sekaligus menjawab tantangan dari negara-negara Uni Eropa terhadap sawit Indonesia.
Pengembangan produk hilir minyak kelapa sawit, misalnya dengan mengolah produk turunannya menjadi plasticizer, akan berdampak pada peningkatan nilai tambah ekonomi. Hal itu sejalan dengan target BRIN untuk meningkatkan nilai tambah dari keanekaragaman hayati Indonesia.
BRIN memfokuskan riset untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi berbasis sumber daya alam dan keanekaragaman lokal baik hayati, geografi, seni dan budaya, selain mengejar ketertinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, invensi dan inovasi harus mampu meningkatkan nilai tambah dari kekayaan biodiversitas Indonesia yang melimpah sehingga membawa peningkatan ekonomi bangsa.
Untuk itu, BRIN mendorong, memfasilitasi, mengupayakan dan memperkuat berbagai aktivitas riset untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas berbagai produk bernilai tambah tinggi dan produk lebih ramah lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya alam Indonesia.
Proses pengembangan produk berbasis riset tersebut merupakan proses penciptaan nilai tambah beratus bahkan beribu kali lipat dari nilai bahan baku atau bahan mentahnya.
Dengan demikian, Indonesia akan lebih banyak menjual produk-produk yang bernilai tambah tinggi bukan sekadar produk mentah, yang mana produk tersebut dapat menjadi produk unggulan negeri, yang menjawab kebutuhan bangsa, dan bisa diekspor.
Penciptaan nilai tambah tinggi dari berbagai produk berbasis kekayaan alam Indonesia termasuk dengan mengolah dan memanfaatkan minyak kelapa sawit akan mendukung upaya Indonesia untuk tumbuh maju, semakin sejahtera dan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.*