Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta menilai penurunan harga tes PCR akan membantu upaya pemulihan ekonomi nasional karena mendukung pengendalian pandemi COVID-19 melalui aktivitas testing dan tracing.
"Testing dan tracing hanya satu komponen kecil dalam usaha pengendalian pandemi yang kompleks. Jadi, semakin terjangkaunya harga PCR itu hal yang baik," katanya dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu.
Andree mengingatkan bahwa langkah pemulihan ekonomi akan bergantung dari sinergi semua komponen seperti perubahan perilaku masyarakat dan kesuksesan program vaksinasi.
Baca juga: Biaya tes PCR di Bandara Kualanamu turun jadi Rp525 ribu
Ia berpendapat bahwa data terakhir dari Kementerian Keuangan memperlihatkan masih lemahnya pengujian dan pelacakan.
Hal tersebut, lanjutnya, karena dari total anggaran penanganan COVID-19 2021 sebesar Rp185,98 triliun, hanya Rp4,08 triliun yang digunakan untuk diagnostik (testing dan tracing).
"Jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan alokasi vaksinasi sebesar Rp58 triliun dan Rp59,1 triliun untuk pengobatan," ujarnya.
Andree mengemukakan bahwa permintaan untuk tes PCR kini sudah pasti tinggi, sehingga cara untuk menekan harga adalah dengan memastikan berlimpahnya pasokan, serta karena Indonesia tidak memproduksi PCR dan sepenuhnya bergantung pada impor, maka perlu ditinjau apakah kondisi bottleneck ini terjadi karena jumlah importir yang terlalu sedikit.
Selain itu, ujar dia, kebijakan mematok harga hanya akan efektif kalau pasokan berlimpah dan semua komponen biaya diketahui oleh pemerintah.
"Jika harga patokan terlalu tinggi, tentu ada membatasi jumlah konsumen, tetapi kalau terlalu rendah, supplier bisa mundur sehingga terjadi kelangkaan atau bahkan terbentuknya pasar gelap," paparnya.
Ia juga menyebut bahwa solusi paling aman adalah menambah pasokan dengan memperbanyak jalur impor. Untuk jangka menengah dan panjang, solusi yang dibutuhkan adalah menarik investasi pada manufaktur alat kesehatan dalam negeri.