Sejarawan Bonnie Triyana memaparkan bahwa pengalaman hidup salah satu Proklamator RI Mohammad Hatta, yakni kecintaannya kepada buku.
"Hatta pernah mengatakan, 'Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Dengan buku aku bisa bebas',” kata Bonnie Triyana dalam Talk Show "Pekan Bung Hatta" yang ditayangkan di Channel Youtube BKNP PDI Perjuangan, Sabtu.
Menurut dia, Hatta memperlakukan buku sebagai jendela dan satu celah untuk bergerak bebas mempelajari apa pun di dunia ini. Kecintaannya kepada buku dimulai sejak masa mudanya di Padang, Sumatera Barat, hingga berlanjut sampai Rotterdam, Belanda.
"Hatta merupakan seorang pembaca yang tekun dan kutu buku. Bahkan seringkali ia dianggap sebagai teks book thinker," kata pria asal Rangkasbitung, Banten itu.
Dibesarkan di keluarga yang sebenarnya secara sosial merupakan golongan kelas menengah, Hatta memiliki kemampuan untuk mengakses pendidikan yang berkualitas, bahkan pergi sekolah ke Belanda. Di sanalah Hatta banyak membaca buku dan menuangkan gagasannya dalam berbagai tulisan.
"Kalau seseorang piawai dalam menulis, dipastikan dia banyak membaca. Kita bisa pastikan itu dari tulisan-tulisan Hatta di media," kata Bonnie dalam siaran persnya.
Hatta bukan seorang pembaca yang dogmatik, tapi dia membaca dengan kritis. Tidak semua yang dia baca ditelan mentah-mentah atau dia buang. Dari bacaannya itu, Hatta memetik beberapa hal yang berguna untuk bangsa.
Semangat dan kecintaan Hatta pada buku, dalam banyak kisah juga ditanamkan kepada anak-anak dan remaja agar mereka terbiasa untuk membaca.
Saat Hatta diasingkan di Banda Neira, salah satu permintaan Hatta kepada sahabatnya Eduard Post adalah mengirimkan sejumlah buku untuk anak-anak Banda Neira karena Hatta melihat anak-anak di Banda Neira tidak memiliki buku.
"Selain kecintaanya pada buku sudah tertanam sejak kecil, Hatta juga hendak menanamkan itu pada anak-anak kecil," papar penggagas Museum Multatuli dan Festival Seni Multatuli di Lebak ini.
Kisah lain betapa Hatta sangat mencintai buku adalah saat Belanda hendak mengasingkannya ke Digul, Papua Selatan. Saat hendak diasingkan pada tahun 1935, Hatta meminta kepada pemerintah kolonial untuk membawa serta buku-bukunya yang jumlah totalnya saat itu sebanyak 16 peti.
"Bayangkan jika satu peti itu isinya 100. Berarti ada 1600 buku dibawa ke Digul oleh Hatta. Koleksi buku-buku Hatta saat ini masih tersusun rapi dan dapat dilihat di rumahnya Jl. Diponegoro 57, Jakarta," jelas Bonnie.
Kecintaan Hatta pada buku, bukan hanya di lingkup akademis, tetapi juga dalam aspek-aspek lain dalam hidupnya, dia benar-benar sangat mengutamakan buku.
"Bahkan saat Hatta menikah, mas kawin yang dia berikan kepada bu Rahmi, calon istrinya kala itu adalah karya tulisnya berjudul 'Alam Pikiran Yunani'. Sebuah buku tentang ragam pemikiran para filosof Yunani," tuturnya.
Generasi Bung Hatta atau Bung Karno saat itu sangat menyadari bahwa tidak mungkin mereka memahami keadaan dunia saat itu jika bukan karena buku. Membaca telah menjadi jendela mereka kepada alam pemikiran baru sehingga mereka mengerti keadaan Indonesia.
"Dengan membaca, akhirnya mereka bisa memahami apa bedanya dijajah atau tidak dijajah," ucap Bonnie.
Bonnie juga menyinggung perbedaan cara membaca generasi era Bung Hatta atau Bung Karno dengan generasi kekinian.
"Saat dahulu mereka membaca buku, mereka mengelaborasi bacaan itu. Kritik pemikiran ini kemudian diwujudkan dalam gerakan-gerakan pembebasan yang konkret untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Saat ini, kebanyakan kita malah tertidur saat sedang membaca," ucap Bonnie.
Saat ditanya mengenai tanggapannya melihat anak muda saat ini yang masih minim membaca dan kadang terburu-buru dalam berkomentar, Bonnie menjelaskan bahwa tentu setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing, namun tentu harus ada standar yang bisa kita usahakan.
“Saat ini kita memang tidak bisa menganjurkan orang menjadi seperti Bung Hatta. Namun paling tidak, mari biasakan membaca dan mendalami satu persoalan sebelum kita mengatakan sesuatu,” pungkas Bonnie.
Rangkaian Talk Show "Pekan Bung Hatta" merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Badan Kebudayaan Nasional Pusat (BKNP) PDIP dalam mengenalkan sepak terjang, kisah dan inspirasi Bung Hatta kepada masyarakat luas.