Brussels (ANTARA) - Menteri Luar Negeri Belgia Sophie Wilmes, yang juga merupakan mantan perdana menteri, dimasukkan ke ruang perawatan intensif (ICU) karena COVID-19, kata kantornya, Kamis (22/10).
Kabar soal Wilmes masuk ICU muncul saat negara itu berjuang melawan gelombang kedua infeksi virus corona.
Menteri berusia 45 tahun itu sadar dan kondisinya stabil, menurut juru bicaranya.
Baca juga: Reisa sebut ketersediaan obat penanganan pasien COVID-19 masih aman
Wilmes mengatakan pada Sabtu (17/10) bahwa ia positif menderita penyakit corona dan bahwa dirinya mungkin tertular virus itu dari seorang kerabat, bukan di tempat kerja.
Alexander De Croo, yang pada awal Oktober mengambil alih jabatan dari Wilmes sebagai perdana menteri Belgia, mengatakan di Twitter bahwa ia berharap Wilmes segera pulih.
"Tidak ada yang kebal terhadap virus ini. Bersama-sama, kita akan mengalahkan COVID-19," tulisnya.
Sebagai perdana menteri, Wilmes memimpin negara itu melalui enam bulan pertama pandemi.
Jabatannya kemudian berubah setelah pemerintahan minoritasnya digantikan oleh koalisi mayoritas pada Oktober.
Kasus penularan dan pasien COVID-19 di rumah sakit terus meningkat di negara itu.
Belgia memiliki tingkat kematian per kapita tertinggi di dunia akibat COVID-19.
Menteri Kesehatan Frank Vandenbroucke pada Minggu (18/10) memperingatkan bahwa kemungkinan "tsunami" corona ada di depan mata.
Ia mengeluarkan pernyataan itu ketika negaranya mulai kehilangan kendali atas virus tersebut.
Belgia berada di urutan kedua, setelah Republik Ceko, di kawasan Eropa menyangkut infeksi per kapita dalam dua minggu terakhir.
Hingga 18 Oktober, negara berpenduduk 11 juta orang itu melaporkan 9.693 infeksi baru per hari dalam seminggu.
Jumlah orang yang tertular corona itu meningkat 75 persen dari minggu sebelumnya.
Setiap hari, rata-rata ada 319 orang yang dirawat di rumah sakit.
Sejauh ini, 10.539 orang di Belgia meninggal karena mengidap COVID-19.
Pemerintah akan menggelar pertemuan pada Jumat untuk membahas pandemi.
Ahli virologi terkemuka Marc Van Ranst mengatakan pada Kamis bahwa negara perlu melakukan karantina wilayah secara singkat dan sepenuhnya untuk menghindari penguncian parsial jangka panjang, yang akan membuat semua orang kelelahan serta memukul perekonomian.
Sumber: Reuters