Jakarta (ANTARA) - Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero) Emma Sri Martini memaparkan ada tiga faktor yang menyebabkan BUMN migas tersebut merugi hingga Rp11,13 triliun pada semester I-2020, salah satunya karena turunnya penjualan BBM.
Dalam rapat dengar pendapat yang digelar oleh Komisi VII, Emma menjelaskan volume penjualan BBM/BBK pada April 2020 turun hingga 26 persen jika dibandingkan dengan Juli 2019. Turunnya permintaan masyarakat dalam menggunakan BBM menyebabkan Pertamina kehilangan pendapatan (revenue).
"Pandemi COVID-19 sangat signifikan sekali terhadap penurunan permintaan ini, menyebabkan pendapatan kita sangat terdampak. Kita lihat di kuartal II bulan April ini adalah posisi terdalam," kata Emma dalam RDP bersama Komisi VII di Jakarta, Senin (31/8)
Emma menjelaskan bahwa penjualan BBM mulai menunjukkan tren positifnya pada bulan Juni yang meningkat sebesar 7 persen, dan Juli sebesar 5 persen, meski belum kembali pada "normal rate".
Baca juga: Pertamina MOR I tambah kapasitas Depot Pengisian Pesawat Udara Pinangsori
Turunnya permintaan pada BBM juga memberikan dampak pada inventarisasi atau bahan bakar yang tersimpan di kilang. Sebagai contoh, stok avtur pada April-Mei saja mencapai hingga 400 hari, namun di sisi lain biaya inventarisasi tetap berjalan.
"Avtur kita stoknya bisa sampai 400 hari, solar juga, semua terdampak dan itu memakan menjadi 'inventory cost', sementara 'revenue' tidak ada," kata Emma.
Baca juga: Pertamina targetkan 25 titik Pertashop di Sumut
Selain volume penjualan yang menurun tajam, pendapatan Pertamina juga terdampak pada selisih kurs dolar dan rupiah. Sebagai perbandingan, posisi nilai tukar rupiah pada Desember 2019 sebesar Rp13.900, sedangkan pada Maret atau titik terendah sebesar Rp16.367.
Selisih nilai tukar ini memberikan tekanan finansial karena pendapatan Pertamina sebagian besar dalam rupiah (IDR), namun pembelian minyak mentah dalam dolar (USD).
Sejumlah langkah strategis Pertamina akan dilakukan dalam menghadapi semester II tahun ini, antara lain efisiensi capex dan opex sebesar 4,7 miliar dolar AS atau setara Rp70 triliun.
Kemudian, Pertamina berupaya menjaga produksi minyak dan gas untuk menekan impor, serta renegosiasi kontrak dengan mata uang asing untuk dibayar menggunakan Rupiah.