Tapanuli Utara (ANTARA) - Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengungkapkan, seorang bocah putus sekolah berusia tujuh tahun, berinisial AHMR lari dari kediamannya di Desa Sibaragas Toruan, Kecamatan Pagaran, Kabupaten Tapanuli Utara, akibat tak kuasa menahan siksaan dari orangtuanya.
Dikatakan, bocah yang lari ke dalam hutan di Desa Lumban Motung akhirnya ditemukan warga dengan kondisi memprihatinkan.
Dalam siaran pers yang diterima ANTARA, Sabtu (4/1), Komnas PA menduga adanya berbagai perlakuan kasar bahkan tak manusiawi yang kerap dirasakan oleh korban dari ayah tirinya, Eben Pasaribu alias Tiger, ibu kandung Yanti Mulyanis, serta pembantu rumah Eben, Nuraini Sinaga, dan Lambar.
Hal tersebut diungkapkan berdasarkan pengakuan korban yang kerap menerima penganiyaan dan pukulan di bagian kepalanya hingga luka.
"Aku tidur di bak mandi yang baru dibuat, makan pun kadang tak diberi," ujar Arist mengutip pengakuan korban.
Baca juga: Cinta Laura resmi diangkat jadi Duta Anti Kekerasan
Disebutkan, siksaan lain berupa kekerasan fisik juga kerap dirasakan korban, dimana badannya kerap dipukul menggunakan bambu berukuran gagang sapu hingga patah.
"Bocah ini nekat lari sejauh sepuluh kilometer dari rumahnya menuju Desa Lumban Motung. Saat ditemui, korban mengaku mendapatkan tindakan kekerasan hanya karena hal sepele. Bahkan korban pernah di beri makan kotoran ayam," terang Arist.
Sementara itu, abang korban Fauzan Ray yang diduga secara sengaja dipisahkan darinya agar kedua orang tuanya leluasa menganiaya korban.
Hal ini membuat ayah kandung korban Hasrizal Ray melaporkan kasus tersebut ke Polres Tapanuli Utara.
Keluarga berharap, kasus ini segera menjadi perhatian bagi penegak hukum.
"Kini korban diamankan pihak keluarga di kota Medan," jelas Arist.
Kapolres Taput, AKBP Horas Silaen yang dikonfirmasi via selulernya menegaskan bahwa tindakan kekerasan dan penganiayaan yang dialami AHMR, sedang menjadi atensi pihaknya.
"Lagi kita atensi. Saya pastikan jajaran Satkrimum Polres Tapanuli Utara khususnya UNIT PPPA dan komitmen Polres Taput akan bekerja keras untuk menangani kasus kekerasan dan penganiayaan ini," sebutnya.
Terkait peristiwa ini, Arist Merdeka Sirait menjelaskan bahwa kejadian memilukan diawal tahun 2020 ini telah mengundang reaksi masyarakat Tapanuli Utara khususnya masyarakat di Siborongborong, yang menekankan betapa nasib anak-anak di Indonesia dilingkungan dekatnya pun tidak bebas dari kekerasan.
"Oleh sebab itu, untuk keadilan dan kepentingan terbaik anak 'the best interest of child' tidak ada alasan bagi siapapun pelaku kekerasan yang dapat ditoleransi dan kebal hukum, sekalipun orangtua kandung sebagai pelaku maupun orang di sekitar korban yang mengetahui penyiksaan itu, namun tidak memberikan pertolongan, termasuk orang yang ada di sekitar anak dan keluarga dekat.
Polres Tapanuli Utara diminta segera menangkap dan menahan pelaku dan menjeratnya dengan ketentuan UU RI nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun pidana penjara.
"Jika orangtua kandung terbukti menjadi pelaku, maka orangtua dapat dijerat dengan ketentuan pasal berlapis, yakni ditambahkan sepertiga dari pidana pokoknya," imbuh Arist.
Sementara, untuk memulihkan trauma berat korban yang saat ini diberi rasa nyaman di rumah salah satu keluarga korban di Medan, kata Arist, Komnas PA juga akan segera meminta Lembaga Perlindungan Anak Propinsi Sumatera Utara untuk memberikan dampingan pemulihan traumatis korban.