Medan (ANTARA) - Buat nenek ku di Samosir, aku tau lapuk dan rapuhnya dinding rumah itu serapuh dan selapuk raga mu. Pecah retak guci tempat air di sana sepecah dan seretak harapan mu dalam kehidupan.
Jari tangan dan kaki tua mu menjadi saksi bisu perjalanan itu. Namun karya-karya mu lah yang selalu menjembatani hubungan sosial di antara kami.
Begitu petikan narasi sosial yang termaktub dalam sebuah lukisan seorang nenek tua karya M.Yamin. Dalam lukisan itu, sang nenek digambarkan sedang duduk di lantai merajut bayon (pandan) untuk dijadikan sebuah Tandok.
M.Yamin, seorang pelukis mantan Guru Seni Rupa SMAN 3 Jember yang kini memilih menghabiskan hidupnya di Kota Medan, Sumatera Utara.
Lukisan hasil kuasan jemarinya itu diserahkan kepada Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provsu, Dr Hj Wan Hidayati dan Kepala Museum Negeri Sumut Martina SH.
"Ini diharapkan menjadi langkah awal hubungan dan perhatian Pemprovsu untuk mengeksplorasi kebudayaan dan seni Sumatera Utara melalui seni lukis," harapnya di Medan, Selasa.
Ia sedikit menjelaskan soal anyaman Tandok yang digambarkan dalam lukisan tersebut. Tandok tidak hanya dimaknai sebuah barang hantaran atau wadah yang terbuat dari anyaman bayon (pandan).
Bukan juga sebuah barang ekonomis yang bisa menghasilkan rupiah, namun bagi orang Batak, Tandok sangatlah sakral dan digunakan saat upacara adat seperti pernikahan, lahiran hingga cara kematian.
"Artinya yang terpenting ada nilai-nilai, di antaranya kebudayaan dan kesakralan yang tersimpan hingga harus perlu dilestarikan," katanya.
Dirincikannya, pada umumnya anyaman Tandok itu juga dijadikan twadah atau tempat beras/padi yang dihantar sebagai persembahan.
"Umumnya, kaum ibu-ibu yang mengusung Tandok di semua acara adat dan seremonial," sebutnya.
Selain tempat beras/padi, juga digunakan untuk tempat nasi, yang pada Suku Karo biasanya disebut Sumpit.
"Ukurannya sangat bervariasi dari sekitar 30 cm, 1 meter sampai 3 meter, yang disebut juga Tandok raksasa," urainya.
Di sisi lain, Ia juga menjawab soal pertanyaan bagaimana dirinya menggeluti seni lukis di Sumatera Utara.
Dirinya tertantang menjadi pelukis baik di kanvas maupun tembok alias mural dalam mengeksplorasi kebudayaan dan pariwisata di Sumatera Utara.
"Sumut ini kaya akan segalanya. Kita tinggal dan menetap di Sumut seakan berada sepuluh persen dalam surga," ujarnya.
Dan yang perlu digarisbawahi lagi, sambung Yatim, eksplorasi kehidupan sosial, budaya dan pariwisata di Sumut melalui lukisan bisa berdampak pada majunya pertumbuhan pariwisata di Provinsi Sumatera Utara.
Hal yang sama juga disampaikan Kadisbudpar Sumut DR Wan Hidayati.
Hidayati yang juga seniman teater itu sengaja meminta lukisan karya Syaiful Yatim tersebut menjadi salahsatu inspirasinya dalam sebuah buku Geopark Kaldera Toba.
"Saya melihat, di balik keindahan alam Danau Toba tersimpan suatu nilai perjuangan seorang ibu berboru batak yang berjuang menghasilkan sebuah karya anyaman Tandok. Lukisan karya Syaiful Yatim ini bisa menginspirasi khususnya soal nilai-nilai yang terkandung pada Danau Toba," kata Hidayati.
Jadi, lanjut Hidayati yang masih aktif dalam seni prolog serta musik biola itu, dirinya tidak salah mengakui bahwa sebutan 'inong/inang' '(panggilan untuk ibu, red) sangat sakral serta mengandung nilai perjuangan.
"Melalui nilai di lukisan ini, saya melihat perjuangan seorang ibu berboru Batak benar-benar gigih berjuang untuk masa depan anak-anaknya. Sehingga sebutan 'Anakkon hi do hamoraon di au' dapat terserap penuh maknanya," pungkasnya.