Medan (ANTARA) - Sejuk, nyaman.
Kesan pertama itu langsung terasa ketika kaki menjejak Desa Bawomataluo yang berada di perbukitan dengan ketinggian sekitar 300 meter dari atas permukaan laut, di Kecamatan Fanamaya, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.
Ya benar, membaca nama Bawomataluo, tak lain dan tak bukan, mengingatkan orang pada atraksi budaya yang telah turun temurun menjadi tradisi, yakni melompati tembok batu oleh pria-pria lincah. Atraksi itu dinamai hombo batu.
Tembok batu setinggi 2,15 meter yang dilompati secara bergiliran oleh sejumlah pria itu merupakan penanda bagi masyarakat setempat.
Konon, kaum lelaki di sana harus melompati tembok batu sebagai latihan perang agar mampu menerjang dinding pembatas.
Pemuda yang belum bisa melompati tembok batu, dianggap belum dewasa dan belum pantas ikut perang.
Kini atraksi tersebut dilestarikan sebagai daya tarik budaya bagi para wisatawan yang berkunjung ke Bawomataluo.
Tak seperti arti dari Bawomataluo, yakni Bukit Matahari, di kawasan itu tidak terasa terik oleh sengatan sang surya.
Di desa adat itu, wisatawan bisa melihat tangga batu yang berjumlah 82 anak tangga dengan kemiringan sekitar 45 derajat.
Selain itu juga terdapat sekitar 250 rumah tradisional terbuat dari kayu dan batu. Penduduk setempat menamai rumah dan bangunan tradisional mereka dengan nama Omo Sebua (rumah kepala adat desa dengan tiang-tiang besar dari kayu besi atau kayu ulin dan atap setinggi 16 meter), Omo Hada (rumah rakyat berbentuk persegi), dan Omo Bale (balai tempat berkumpulnya kepala adat desa dan masyarakat untuk bermusyawarah).
Bawomataluo menjadi salah satu situs warisan dunia dari UNESCO sejak tahun 2009.
Saat Nias dilanda gempa dahsyat pada 28 Maret 2005, seluruh bangunan tradisional yang terbuat dari kayu dan batu itu, tak goyah.
Rumah-rumah adat tradisional memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Pondasinya terbuat dari kayu dan ruma-rumah itu memiliki ruangan yang terbuat dari daun sagu.
Daya tarik terbaik yang bisa dinikmati wisatawan di Desa Bawomataluo adalah tari Fataele (tarian perang). Beberapa penari pria berkumpul untuk melakukan gerakan tarian yang unik, sebagai simbol keberanian lokal. Pakaian mereka bahkan terlihat begitu besar, menampilkan beberapa warna dan ornamen.
Warga Nias Selatan ini menggunakan tombak dan pedang, dan berbagai ornamen lainya selama mereka mengadakan pertunjukan.
Pesona lain dari Desa Bawomataluo adalah kursi kuno Raja Nias. Kursi ini terbuat dari batu, memiliki panjang 10 meter.Biasanya, raja menggunakannya saat menyampaikan pesan kepada rakyatnya. Selain tempat duduk, pengunjung juga bisa menemukan patung-patung kuno.
"Pulau Nias bisa menjadi tujuan wisata yang baik, dan juga menawarkan banyak tempat bagi wisatawan untuk mengeksplorasi keindahan budaya," ujar Ariston Manao (57 tahun), Kepala Desa Bawomataluo periode 2006-2016, kepada ANTARA yang menemuinya akhir Maret.
Bawomataluo memiliki banyak atraksi budaya seperti relik megalitik, rumah tradisional, tradisi lompat batu, dan masih banyak lagi. Desa itu sudah berdiri ratusan tahun.
Dengan jumlah sekitar seribu kepala keluarga, masyarakat Desa Bawomataluo masih tetap teguh memegang adat istiadat nenek moyang mereka.
Kebanggaan warga
Dalam kunjungan ke Desa Bawomataluo, ANTARA juga ingin mengetahui bagaimana mereka Merayakan Demokrasi Indonesia menjelang Pemilu 17 April 2019.
Meskipun hidup secara sederhana, warga Desa Bawomataluo, dalam menghadapi Pemilu serentak untuk memilih Presiden/Wapres, DPR RI, DPD RI, DPRD Sumatera Utara, dan DPRD Kabupaten Nias Selatan, di wilayah itu, tetap tenang tanpa hiruk pikuk oleh dinamika politik.
Pesta demokrasi lima tahunan di Bawomataluo tidak diwarnai dengan hiruk untuk mendukung calon-calon legislatif tertentu maupun dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Ariston Manao berharap pemilu berlangsung secara damai, aman dan tidak terjadi gejolak.
"Kami berharap tidak ada terjadi konflik atau keributan," ujar Ariston juga mantan anggota legislatif.
Yasinta Fau (69), salah seorang penduduk asli dari kaum bangsawan atau keturunan raja setempat, menceritakan secara jelas bahwa dirinya merupakan keturunan dari Raja Baza Nalui Fau yang pernah berkuasa di Bawomataluo.
Dalam pandangan dia, pejabat negara seperti presiden, menteri, anggota dewan perwakilan rakyat, merupakan panutan dan figur yang diharapkan dapat membangun Kabupaten Nias Selatan ke arah yang lebih baik, serta maju dan berkembang.
Untuk itu dalam menghadapi Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang tahun ini diselenggarakan secara serentak pada 17 April, dia berharap rakyat dapat mendapatkan pemimpin yang terbaik bagi bangsa ini dan termasuk bagi daerahnya.
Pemilu merupakan suatu kebanggaan bagi warga Desa Bawomatalu, dan mereka menyambut dengan baik, serta ikut menyukseskan.
Melalui kegiatan Pemilu Legilatif dan Pilpres tersebut, dapat memberikan perobahan bagi pembangunan di Desa Bawomataluo, yakni pembangunan sarana jalan yang lebih baik, puskesmas, gedung sekolah, sehingga perekonomian masyarakat semakin lebih sejahtera.
Selain itu, juga pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dari desa tersebut, dan ke depan agar semakin lebih baik lagi, mereka diharapkan dapat membangun Kabupaten Nias Selatan yang masih banyak tertinggal dengan daerah lainnya di Provinsi Sumatera Utara.
Warga berharap pemilu dapat membawa kebaikan bagi seluruh masyarakat Tano Niha atau Tanah Nias.
Pelompat batu
Hal senada juga diungkapkan Robin Fan Fau (22), pelompat batu di Desa Bawomataluo.
Ia berjanji akan menyukseskan kelancaran kegiatan pemilu dengan memberikan hak suaranya.
Dia juga mengajak teman-temannya untuk datang ke tempat-tempat pemungutan suara pada Rabu tanggal 17 April 2019, untuk mencoblos surat suara.
Pemilu secara serentak yang digelar tahun ini, merupakan yang kedua kali diikutinya dan pertama adalah Pemilu Legislatif Tahun 2014.
Bahkan, pemilu tahun ini merupakan catatan sejarah bagi dirinya, dan menggembirakan karena serentak memilih presiden dan anggota legislatif.
Dengan dilaksanakannya Pemilu Legislatif dan Pilpres di desa adat tersebut, diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi warga Desa Bawamataluo yang termasuk merupakan daerah yang tertinggal pembangunannya.
Pembangunan sarana dan prasarana di Bawomataluo masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan begitu juga kehidupan perekonomian masyarakat.
Dengan dibangunnya sarana jalan di daerah tersebut, wisatawan yang berkunjung untuk melihat atraksi lompat batu dan tari perang semakin meningkat.
Warga menginginkan objek wisata di Bawomataluo dapat dibenahi dengan baik, sehingga perekonomian masyarakat semakin lebih berkembang, dan maju.
Pemilu bergema di Bukit Bawomataluo
Jumat, 5 April 2019 21:37 WIB 6916