Kotapinang (Antaranews Sumut) – Ratusan massa yang tergabung dalam Kelompok Tani Bersatu (KTB) menduduki lahan sengketa yang dituding telah dirampas PT Sifef di Desa Tolan Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kamis.
Petani yang telah datang sejak pagi di areal perkebunan kelapa sawit itu mendirikan tenda-tenda sebagai persiapan untuk menginap di lahan. Mereka juga membawa bibit pohon pisang untuk ditanam dan membawa media luar ruang yang bertuliskan kecaman perampasan lahan.
Puluhan personel Polisi dan petugas kemanan perusahaan ikut mengawal aksi tersebut.
Ketua KTB, Tajuid mengatakan, aksi reklaiming ini sebagai bentuk protes petani terhadap pemerintah yang dinilai lamban dalam menyelesaikan persoalan sengketa lahan.
Pihaknya menuntut pembebasan lahan petani seluas 716 hektar di Kecamatan Kampung Rakyat yang dituding digarap dengan brutal oleh PT Sipef pada tahun 1971 silam.
Masyarakat petani diusir dengan paksa dan bahkan dengan diacungkan senjata jika tetap mempertahankan lahannya. Padahal sudah punya surat kepemilikan yang jelas dan ada yang sudah membayar pajak tetapi tetap digusur.
"Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Selatan telah berjanji akan melakukan mediasi saat pertemuan di Polres Labuhanbatu. Namun hingga kini tak ada kabar jelas. Maka kami mengambil sikap langsung menduduki lahan, karena ini juga hak kami," katanya.
Ia menegaskan, akan tetap berjuang merebut kembali hak mereka hingga titik darah penghabisan dan akan bertahan di lahan ini sampai ada penyelesaian dari pemerintah.
Manager Areal PT Sifef, Posman Damanik mengatakan kalau pihaknya sangat terganggu dengan aksi pendudukan lahan yang dilakukan petani.
Menurutnya, PT Sifef telah secara sah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) seluas sekitar 3672 hektar. Maka jika masyarakat merasa memiliki hak, sebaiknya menempuh jalur hukum. "Kita persilahkan ke jalur hukum," katanya.
Kapolsek Kampung Rakyat AKP. H Sihombing yang terjun langsung ke lokasi mengatakan, akan bertindak netral dalam persoalan ini.
Namun dia tetap mengimbau kepada pihak petani untuk membubarkan diri dan menunggu panggilan mediasi dari Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Hal tersebut guna menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.