Jakarta, 10/1 (Antara) - Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum membantah disebut mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut dia, ketidakhadirannya pada pemeriksaan kedua, Selasa (7/1), karena ia pergi keluar kota menemui orang tuanya di Blitar.
"Kenapa kok mangkir? Kenapa tidak datang saja? Saya sampaikan bahwa saya sesungguhnya tidak mangkir," kata Anas dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Ditambahkannya, jika dirinya disebut mangkir, pasti tidak ada keterangan, komunikasi atau alasan yang jelas. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah pihak Anas tengah terus meminta penjelasan soal kesalahan redaksional dalam surat panggilan yang dilayangkan kepadanya.
Kesalahan redaksional itu, menurut Anas, yakni adanya frasa "menerima gratifikasi dalam proyek Hambalang dan atau proyek lainnya" yang menurut pihak Anas tidak jelas mengarah ke kasus apa.
"Jadi yang terjadi sebenarnya meminta keterangan atau penjelasan soal frasa 'dan atau proyek lainnya'. Bukan hanya untuk saya, tetapi juga terkait kepentingan penasihat hukum, sehingga ketika mendampingi itu jelas," ujarnya.
Menurut Anas, penjelasan atas kesalahan redaksional itu penting, tak hanya bagi dia, tetapi juga bagi KPK terkait pasal tindak pidana yang dipersangkakan terhadap dirinya.
"Salam hormat saya pada pimpinan KPK. Yang penting mari kita tegakan hukum dan kebenaran dengan sungguh-sungguh. Yang saya yakini tidak ada pemegang kebenaran tunggal, tidak ada manusia yang selalu benar. Manusia sifat dasarnya bisa alpa bisa salah," ucapnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi akan melakukan upaya paksa terhadap tersangka kasus korupsi Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang bila ia tidak datang pada Jumat (10/1).
"Kami akan menggunakan upaya sesuai prosedur hukum yang ada di KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yaitu memaksa terpanggil untuk hadir," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto melalui pesan singkat di Jakarta, Kamis (9/1).
Anas sudah dua kali tidak memenuhi surat panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka, yaitu pada 31 Juli 2013 dan 7 Januari 2014.
Anas ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Februari 2012 berdasarkan pasal 12 huruf a atau huruf b. Kemudian pasal 11 UU no 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU no 20 tahun 2001 tentang penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi. Ancaman pidananya berupa penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4-20 tahun dan pidana denda Rp200-Rp1 miliar.
Anas mendapat Rp2,21 miliar untuk membantu pencalonan sebagai ketua umum dalam kongres Partai Demokrat tahun 2010 yang diberikan secara bertahap pada 19 April 2010 hingga 6 Desember 2010.
Uang itu diserahkan kepada Anas digunakan untuk keperluan kongres Partai Demokrat, antara lain membayar hotel dan membeli "Blackberry" beserta kartunya, sewa mobil bagi peserta kongres yang mendukung dirinya, dan juga jamuan dan entertain.
***1*** (T.A062)
Chandra HN
(T.A062/B/C. Hamdani/C/C. Hamdani)