Jakarta, 22/10 (Antara) - Korupsi sebagai musuh masyarakat sudah terpahami bersama. Akan tetapi, kenapa masih saja terjadi tindak kejahatan luar biasa itu?
Para pakar dari berbagai bidang sudah mengemukakan opini mereka. Mereka bicara dari berbagai sudut pandang. Mereka telah sepakat bulat bahwa korupsi hanya memberikan dampak destruktif bagi umat manusia.
Ada kemajuan besar dalam sudut pandang terhadap korupsi. Pada dekade 70-an masih ada pakar yang memberikan argumen bahwa korupsi juga memberikan dampak positif karena dapat memperlancar pembangunan.
Suap, sebagai salah satu bentuk korupsi, saat itu dianggap sebagai pelicin dalam pengurusan birokrasi. Jadi, pelicin itu baik untuk memperlancar birokrasi yang berbelit-belit.
Akan tetapi, pandangan seperti itu kini sudah dianggap konyol. Kenapa birokrasi harus dibuat berbelit-belit sehingga harus diperlancar lewat suap? Kesepakatan bulat bahwa korupsi harus diberantas merupakan modal mental terpenting.
Kini kita tinggal menemukan mekanisme oprasionalnya untuk mewujudkan bahwa korupsi benar-benar kejahatan yang harus dilibas oleh siapa pun yang menemukannya. Setiap orang harus didorong menjadi "peniup peluit" begitu menemukan kejahatan koruptif.
"Peniup peluit" harus dibudayakan untuk dipandang sebagai pahlawan publik. Tidak perlu dibatasi untuk korupsi skala besar. "Peniup peluit" di tingkat kantor kelurahan pun perlu dihargai sebagai pahlawan. Mereka harus dilindungi dari konsekuensi ancaman koruptor yang terbongkar kejahatannya.
Tentu pencegahan korupsi juga harus dilakukan dengan menutup peluang-peluangnya dan melipatkgandakan efek jeranya. Sebagai penghormatan terhadap hak asasi manusia, hukuman mati terhadap koruptor tak perlu.
Banyak kalangan yang mengusulkan agar koruptor dihukum mati. Bagi pengusul, hukuman mati akan membuat jera, ngeri bagi mereka yang mencoba-coba berbuat kejahatan dana publik.
Namun, kecenderungan hukum di dunia mengarah pada penghapusan hukuman mati. Sebagai gantinya, hukuman berupa pemiskinan dan hukuman mempermalukan koruptor dengan kerja sosial dalam waktu lama perlu diwujudkan.
Para pakar mengusulkan pemiskinan berupa pembayaran ganti rugi sebanyak tiga sampai lima kali lipat dari nilai uang yang dikorupsi. Jika seorang pejabat terbukti mengorupsi uang negara senilai Rp3 miliar, dia harus membayar ganti rugi senilai Rp9 miliar hingga Rp15 miliar. Itu baru ganti rugi, belum hukuman kurungan, yang diusulkan minimal 10 tahun hingga yang maksimal seumur hidup.
Masih perlu ditambah lagi kerja sosial, seperti diusulkan sosiolog Ignas Kleden, sehingga tenaga tervonis koruptor bisa untuk kepentingan publik. Kerja sosial harus dibatasi untuk pekerjaan yang tak diminati orang banyak seperti membersihkan selokan dan sungai yang mampet. Dengan hukuman berat semacam ini disertai menutup rapat peluangnya, korupsi diharapkan akan tercegah sesegera mungkin.
Pemanfaatan kemajuan teknonologi dapat meminimalkan korupsi. Transaksi yang serba elektronik akan menutup penyimpangan karena semua bentuk transaksi akan terlacak lewat digitaisasi administrasi.
Transparansi tata kelola keuangan selama ini di berbagai instansi pemerintah masih setengah-setengah. Pengumuman neraca keuangan instansi pemerintah perlu diperbaruhi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi digital.
Jika sistem birokrasi yang didukung kemajuan teknologi sudah terbangun, kini tinggal membangun karakter pelaku-pelaku di dalam birokrasi itu sendiri. Dari mana mengawali membangun mentalitas manusia yang berkarakter itu? Jika dilihat sepintas dari pengalaman sehari-hari, watak jujur seseorang kadang terbentuk bukan semata dari pengaruh pendidikan keluarga.
Selalu ada misteri dalam watak manusia. Seorang petani yang memiliki 10 anak, yang dibesarkan dengan pola pengasuhan dan pendidikan keluarga yang hampir sama, ternyata meumbuhkan watak-watak yang berlainan. Ada yang tumbuh dewasa menjadi pribadi yang berintegritas tinggi, tetapi sebagian besar bermental dan berwatak biasa-biasa, permisif dan bisa diajak kompromi untuk meakukan korupsi.
Di kehidupan yang serba saintifik seperti sekarang ini, mau tak mau, korupsi sudah seharusnya diyakini oleh setiap orang sebagai kenistaan. Apa pun kualitas dan kuantitas dari korupsi itu. Integritas harus dijadikan ukuran dalam rekrutmen kepemimpinan birokratis.
Rekam jejak integritas seseorang memang bukan jaminan mutlak, melainkan sedikitnya bisa jadi pemahaman semua aparat birokrasi untuk senantiasa bertindak jujur dalam meniti karier.
Tentu korupsi yang dilakukan oleh para pejabat yang diangkat secara politis tidak akan terpegaruh oleh sistem internal birokratis itu. Namun, jika demokrasi riil berjalan efektif, hanya mereka yang berintegritaslah yang akan sampai di posisi jabatan-jabatan publik yang diraih berdasrkan pengangkatan politis. (M020)
Mencegah Korupsi Secara Multidimensi
Selasa, 22 Oktober 2013 13:48 WIB 2181