Jakarta, 7/9 (Antara) - Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo akhirnya "menikmati hasil korupsinya" ketika mendapat hukuman penjara 10 tahun enam bulan serta denda Rp500 juta dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Jenderal Djoko Susilo diajukan ke "meja hijau" karena didakwa melakukan korupsi terhadap program pengadaan alat simulator bagi calon pengendara motor dan kendaraan roda empat yang nilainya sekitar Rp196 miliar.
Djoko yang dipindahkan dari jabatan Korlantas ke Gubernur Akademi Kepolisian RI juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang atau TPPU.
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan hukuman 18 tahun penjara serta dicabutnya hak politik untuk dipilih menjadi anggota lembaga negara.
Namun hukuman itu dikurangi menjadi 10 tahun enam bulan sedangkan majelis hakim menolak mencabut hak politiknya dengan alasan tidak relevan.
Jenderal Djoko Susilo yang masiih berstatus dinas aktif saat diajukan ke pengadilan itu memiliki harta kekayaan yang luar biasa nilainya mulai dari rumah-rumah mewah di berbagai kota, tanah, mobil-mobil mewah yang nilainya miliaran rupiah hingga beberapa pompa bensin, padahal gajinya sebagai seorang jenderal sama sekali tidak memungkinkan untuk memiliki harta karun yang miliaran rupiah itu.
Ternyata tindak pidana korupsi itu tidak hanya dilakukan seorang jenderal polisi tapi juga anggota DPR, hakim, bupati dan walikota hingga hakim agung.
Angelina Sondakh yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat mewakili Partai Demokrat akhirnya juga masuk penjara karena kasus pembangunan pusat olah raga Hambalang, Bogor.
Selama beberapa tahun terakhir ini juga ada wakil-wakil rakyat yang " dimejahijaukan" karena terlibat berbagai kasus mulai dari pengadaan kitab suci Al Qur'an hingga pemberan bantuan bagi daerah-daerah.
Sementara itu ada juga wali kota dan anggota DPR yang masuk bui gara-gara berkolusi dalam penyusunan APBD dan APBD Tambahan.
Sikap rakus itu tidak hanya diperlihatkan para pejabat eksekutif dan legislatif tapi juga yudikatif. Beberapa hakim terpaksa dijebloskan ke penjara gara-gara"ikut-ikutan" main uang sogokan.
Terpuruknya puluhan pejabat eksekutif, yudikatif, serta legislatif itu amat mengherankan karena di satu pihak mereka sudah memiliki gaji dan berbagai fasilitas yang "aduhai" namun di lain pihak mereka tidak mampu menahan diri untuk melakukan tindak pidana korupsi yang pasti mereka ketahui adalah tindakan melawan hukum.
Yang juga mengherankan adalah sebelum menjadi pejabat negara, mereka mengucapkan sumpah jabatan tapi kemudian secara sadar tetap dilanggarnya.
Karena itu, masyarakat tentu berhak bertanya mengapa banyak pejabat negara tetap saja getol berkorupsi padahal bangsa Indonesia memiliki Pancasila, UUD 1945 yang merupakan pandangan hidup dan sumber hukum.
Pancasila tak berpengaruh?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah pernah bertemu dengan pimpinan DPR untuk membahas arti pentingnya mengaktualisasikan kembali pelaksanaan sila-sila dalam Pancasila karena pemerintah dan DPR sama-sama melihat bahwa dalam banyak hal Pancasila sudah mulai "ditinggalkan" atau minimal tidak dilaksanakan secara konsekuen.
Tanggal 1 Juni masih tetap diperingati dan dirayakan sebagai hari lahirnya Pancasila misalnya pada 1 Juni 2013, Wakil Presiden Boediono dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR Taufiq Kiemas datang ke Ende, Nusa Tenggara Timur.
Namun setelah pesta itu, Pancasila mulai" dilupakan atau ditinggalkan" bangsa ini. Sementara itu Taufiq Kiemas beberapa bulan lalu meninggal dunia di Singapura, padahal Taufiq sedang getol-getolnya atau sangat bersemangat untuk memasyarakatkan konsep" 4 Pilar dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara" termasuk Pancasila.
Maka kini pertanyaan yang sangat pantas diajukan masyakata kepada pemerintah, DPR dan MPR adalah kapankah mereka secara bersama-sama akan menggelorakan lagi Pancasila kepada seluruh lapisan rakyat sehingga kehidupan di Tanah Air kembali bersandar kepada Pancasila?.
Jika warga di negara ini mengacu kepada kasus Jenderal Djoko Susilo, Angelina Sondakh dan semua pelaku kejahatan korupsi maka pasti akan disadari bahwa para pejabat itu sama sekali tidak mempedulikan lagi Pancasila.
Kemudian juga jika melihat kasus Cebongan, ketika 12 prajurit Komando Pasukan Khusus TNI-AD tanpa mempedulikan nilai-nilai Pancasila telah membunuh empat narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan karena mereka membunuh rekan mereka, maka kini apa yang harus dilakukan pemerintah?.
Karena SBY dan DPR sudah sepakat untuk menggelorakan kembali nilai-nilai Pancasila ditambah MPR sudah mempunyai program 4 Pilar, maka sudah saatnya pemerintah membuat dan melaksanakan berbagai program konkret atau nyata untuk memasyarakatkan Pancasila.
Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi mengatakan Pancasila itu adalah penting tapi bukan berarti harus dilaksanakan oleh sebuah badan khusus yang di zaman Orde Baru diberi nama Badan Pembinaan, Pendidikan dan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pelaksana Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau BP7.
"Pancasila itu penting tapi tidak berarti BP7 harus dihidupkan kembali," kata Adhi Massardi yang pernah menjadi juri bicara Presiden Abdurrahman Wahid.
Tahun 2014, rakyat Indonesia akan memilih wakil-wakil rakyat serta presiden dan wakil presiden yang didahului oleh masa kampanye. Sementara itu, bagi SBY, ini adalah masa pemerintahannya yang terakhir kalinya karena sudah dua kali menjadi Presiden.
Karena itu, ini adalah saat yang paling tepat bagi Presiden Yudhoyono untuk memprakarsai dimulainya kembali pendidikan nilai-nilai Pancasila kepada seluruh lapisan masyarakat karena fokus pemerintah yang baru mulai Oktober 2014 adalah meneruskan pembangunan ekonomi, sosial politik bangsa ini.
Pemerintah tentu bisa belajar dari kesalahan-kesalahan yang dibuat BP7 sehingga badan baru itu bisa bekerja dengan dukungan penuh rakyat. (A011)
Program Reaktualisasi Pancasila Tunggu Apa Lagi?
Sabtu, 7 September 2013 10:23 WIB 1588