Jakarta, 22/8 (Antara) - Kurs mata uang rupiah dari hari ke hari tampak kian terpuruk, mendekati tingkat Rp11.000 terhadap dolar AS pada Rabu sore, diperdagangkan di Rp10.945 di pasar spot antarbank, atau jatuh 215 poin dari sehari sebelumnya.
Di perdagangan Asia, rupiah Indonesia melemah menjadi Rp10.680 terhadap dolar AS, titik terendah sejak pertengahan 2009, dari Rp10.495 pada Selasa (20/8). Di pasar spot antarbank Jakarta sejauh bulan ini kurs rupiah telah terkoreksi sebesar 6,4 persen dari Rp10.290 pada awal Agustus.
Fenomena pelemahan ini, juga melanda mata uang negara-negara berkembang lainnya. Beberapa mata uang telah turun tajam, rupee India jatuh ke rekor terendah baru untuk ketiga hari berturut-turut mencapai 64,60 terhadap dolar AS pada Rabu.
Rupee India bahkan merupakan mata uang Asia berkinerja terburuk pada tahun ini. Dalam tiga bulan terakhir saja rupee telah kehilangan sekitar 19,5 persen dari nilainya terhadap dolar AS.
Demikian pula dengan real Brazil telah jatuh ke tingkat terendah dalam empat tahun, mencapai 2,4282 terhadap dolar AS, tingkat yang tidak terlihat sejak Maret 2009. Hal yang sama menimpa mata uang lira Turki, yang turun sekitar 10 persen dari puncaknya pada Februari.
Mata uang negara-negara berkembang sebagian besar telah terpukul baru-baru ini, karena banyak investor menarik uang mereka dalam mengantisipasi langkah Federal Reserve AS akan mulai mengurangi stimulus besarnya, dengan India paling parah karena pertumbuhan yang lambat.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia memang telah banyak menerima aliran dana asing melalui instrumen investasi obligasi, reksadana, dan saham. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika dana-dana tersebut tiba-tiba ditarik para pemiliknya.
Sebuah asosiasi bank-bank terkemuka dunia, Institute of International Finance (IIF), memperkirakan arus masuk bersih modal swasta ke negara-negara berkembang kemungkinan akan turun 36 miliar dolar AS menjadi 1,145 triliun dolar AS pada tahun ini, dan kemudian turun 33 miliar dolar AS menjadi 1,112 triliun dolar AS pada 2014.
Fenomena inilah yang sekarang sedang dihadapi Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya di kawasan Asia. Sejak krisis moneter melanda Amerika Serikat pada 2008, negara-negara emerging markets, telah banyak menikmati aliran dana asing. Dana-dana itu masuk ke Asia, karena melihat pertumbuhan ekonomi di kawasan ini begitu fantastis.
Indonesia salah satu negara yang menjadi incaran para investor, karena instrumen investasinya memberikan imbal hasil lebih menarik dibanding negara lainnya. Sepanjang semester I/2013 dana asing mengalir cukup deras ke sektor keuangan nasional.
Bank Indonesia (BI) mencatat arus modal masuk (capital inflow) dalam bentuk portofolio mencapai Rp33,8 triliun pada Januari-April 2013. Angka ini diyakini semakin besar untuk kumulatif selama semester pertama.
Namun belakangan mulai muncul gejala terjadinya pelarian modal (capital flight) menyusul rencana Federal Reserve AS untuk mengurangi stimulus moneternya.
Sebelumnya, program pembelian aset oleh the Fed, yang dikenal sebagai pelonggaran kuantitatif (QE) sebesar 85 miliar dolar AS per bulan telah mendorong para investor AS memilih berinvestasi di luar negeri untuk mencari keuntungan yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan pasar di seluruh dunia.
Faktor internal
Pelemahan kurs rupiah belakangan ini juga didorong beberapa faktor internal. Pasar tampak merespon negatif perkembangan kebijakan fiskal dan moneter, seperti postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014 yang terlalu optimistis dan langkah BI mempertahankan suku bunga acuan 6,5 persen.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengakui, tekanan di pasar keuangan, termasuk nilai tukar rupiah, masih berlanjut karena faktor global, yakni isu pengurangan stimulus dari bank sentral Amerika Serikat serta faktor domestik, khususnya defisit transaksi berjalan.
Defisit transaksi berjalan merupakan fenomena relatif baru untuk Indonesia yang selama bertahun-tahun terus membukukan surplus.
Belakangan transaksi berjalan mulai defisit dan merembet ke neraca pembayaran sehingga menimbulkan sentimen negatif di pasar.
Transaksi berjalan triwulan II-2013 mengalami defisit senilai 9,8 miliar dolar AS, naik dari defisit transaksi berjalan triwulan I-2013 senilai 5,8 miliar dolar AS karena tekanan dialami hampir di semua pos.
Ini merupakan defisit transaksi berjalan triwulanan ketujuh berturut-turut sejak triwulan terakhir 2011.
Defisit transaksi berjalan terjadi akibat nilai ekspor barang dan jasa lebih kecil dari nilai impor barang dan jasa.
Namun, dikaitkan dengan transaksi modal dan finansial, yakni investasi langsung dan investasi portofolio, membentuk neraca pembayaran.
Data triwulan II-2013 menunjukkan, defisit neraca pembayaran turun dari 6,6 miliar dolar AS menjadi 2,47 miliar dolar AS. Neraca pembayaran belum surplus lagi seperti pada 2011 dan 2012.
Kondisi defisit ini membuat cadangan devisa berkurang. Cadangan devisa saat ini 92,671 miliar dolar AS. Cadangan devisa pernah mencapai 124,6 miliar dolar AS pada Agustus 2011.
Dengan cadangan devisa yang terus menurun, sulit bagi bank sentral untuk melakukan intervensi di pasar. Meski BI menyatakan bahwa ia terus berada di pasar, melalui intervensi di pasar valas untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.
Oleh karena itu, diperlukan bauran kebijakan yang cukup untuk menahan penurunan rupiah lebih lanjut, termasuk peningkatan suku bunga acuan BI rate.
Beberapa bank sentral telah bertindak untuk menahan kemerosotan mata uang mereka. Bank sentral Brazil, Turki dan India telah melakukan intervensi di pasar mata uang dan menaikkan suku bunga utamanya.
India bahkan secara tak terduga melakukan kontrol pada arus keluar dana-dana asing. (A026)
Rupiah Kian Terpuruk Waspadai Pelarian Modal Asing
Kamis, 22 Agustus 2013 8:25 WIB 1477