Jakarta, 11/8 (Antara) - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2013 mencapai 5,81 persen (yoy) atau secara kumulatif perekonomian Indonesia pada semester I-2013 tumbuh mencapai 5,92 persen.
Perekonomian nasional yang tumbuh 5,81 persen (yoy) tersebut didukung oleh pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga yang menyumbang 5,06 persen, Konsumsi Pemerintah 2,13 persen, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 4,67 persen, ekspor 4,78 persen serta impor 0,62 persen.
Realisasi target pertumbuhan hingga pertengahan tahun yang masih di bawah enam persen, membuat asumsi pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan dalam APBN-Perubahan 2013 sebesar 6,3 persen menjadi sulit tercapai.
Selain itu, BPS mencatat laju inflasi pada Juli 2013 sebesar 3,29 persen karena adanya kenaikan harga komoditas pangan dan harga angkutan, sebagai dampak dari kenaikan harga bensin pada minggu ketiga Juni 2013.
Angka inflasi Juli yang relatif tinggi tersebut membuat perkiraan inflasi pada akhir tahun 7,2 persen (yoy) tidak tercapai, karena laju inflasi tahun kalender Januari-Juli 2013 telah mencapai 6,75 persen dan inflasi secara tahunan (yoy) 8,61 persen.
Sedangkan, nilai tukar rupiah saat ini melemah dan berada dalam kisaran Rp10.300 per dolar AS atau jauh dari asumsi Rp9.600 per dolar AS, karena adanya pembalikan arus modal akibat kemungkinan penghentian stimulus Quantitative Easing oleh Bank Sentral AS (The Fed).
Dalam menanggapi realisasi asumsi makro hingga Juli 2013 tersebut, pemerintah mulai realistis dalam menjaga perekonomian nasional yang masih terimbas dari pelemahan ekonomi global akibat krisis di berbagai negara maju.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, ada kemungkinan target pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 6,3 persen tidak tercapai, karena realisasi pertumbuhan hingga semester I masih di bawah enam persen.
"Ada risiko pertumbuhan di bawah 6,3 persen karena realisasi pertumbuhan semester satu sekitar 5,9 persen," katanya.
Chatib mengatakan dengan kondisi ini maka pemerintah akan melakukan upaya ekstra agar angka pertumbuhan ekonomi berada di atas enam persen, dan tidak terlalu meleset dari target yang telah ditetapkan dalam APBN-Perubahan.
Upaya dilakukan pemerintah adalah meningkatkan pasokan bahan pangan dan makanan sebagai kebijakan untuk menjaga laju inflasi di lima bulan tersisa, agar daya beli masyarakat tidak tergerus dan konsumsi rumah tangga tetap stabil.
"Konsumsi rumah tangga akan stabil di September, sehingga saya berharap pertumbuhan ekonominya nanti tidak lagi bergantung pada investasi, tapi juga konsumsi rumah tangga," ujar Chatib.
Selain itu, pemerintah berupaya mempercepat penyerapan anggaran belanja dengan mempermudah proses penyiapan dokumen pencairan, agar dapat ikut memberikan kontribusi pada pertumbuhan.
"Kemarin kami sudah keluarkan gaji ke-13, itu akan dorong pengeluaran belanja pemerintah di semester dua dan akan mendorong konsumsi. Saya juga sudah presentasikan langkah simplifikasi prosedur percepatan pencairan," kata Chatib.
Saat ini struktur Produk Domestik Bruto (PDB) menurut pengeluaran, didominasi pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga yang tumbuh 55,44 persen, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 32,68 persen, Konsumsi Pemerintah 8,63 persen, ekspor 23,15 persen serta impor 25,72 persen.
Pemerintah juga telah menyiapkan kebijakan jangka pendek untuk memitigasi ketidakpastian perekonomian global antara lain mendorong realisasi sumber pembiayaan berdenominasi valas dengan penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan meningkatkan partisipasi bank BUMN dalam menjaga likuiditas.
Kemudian, memberikan sinyal positif melalui peningkatan ruang fiskal pada RAPBN 2014 untuk transportasi publik, infrastruktur dan jaminan sosial serta memperkuat langkah koordinasi untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
"Pemerintah juga sudah menyiapkan aktivasi 'Bond Stabilization Framework' antara lain melalui peningkatan koordinasi dengan Kementerian BUMN dan BUMN terkait," kata Chatib.
Sedangkan, kebijakan jangka menengah-panjang yang disiapkan pemerintah adalah berupaya memperbaiki defisit transaksi berjalan dengan mendorong peningkatan ekspor dan mengelola impor serta memperbaiki iklim investasi.
"Upaya yang dilakukan adalah melalui pemberian instrumen fiskal berupa revisi 'tax allowance' dengan penyederhanaan prosedur dan 'tax holiday' dengan penambahan sektor, relaksasi jangka waktu dan minimum investasi," katanya.
Chatib menambahkan kebijakan jangka menengah-panjang lainnya adalah implementasi penerapan kebijakan makroprudensial untuk mengurangi volatilitas serta kerentanan perekonomian nasional atas gejolak dari eksternal.
Ia memastikan kebijakan ini dilakukan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap terjaga diatas enam persen, meskipun perekonomian nasional saat ini relatif stabil dibandingkan negara-negara lain di regional Asia dan diantara negara G20.
"Situasi Indonesia masih lebih baik walaupun ada gejala yang menganggu indikator makro seperti nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi, yang lebih banyak disebabkan kondisi eksternal," ujarnya.
Pertumbuhan Tinggi
Kepala Badan Pusat Statisitik (BPS) Suryamin mengatakan konsumsi pengeluaran pemerintah bisa mendorong pencapaian target pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat hingga pertengahan tahun.
"Pengeluaran pemerintah dimana gaji ke-13 bergeser ke triwulan tiga, secara matematis bisa meningkatkan," ujarnya dalam pemaparan.
Suryamin mengatakan kondisi pencapaian target tersebut juga terbantu dengan realisasi percepatan belanja barang dari berbagai proyek pemerintah yang mulai berjalan pada triwulan III 2013.
"Ada proyek-proyek yang pada triwulan II masih dalam perencanaan sekarang pembangunannya sudah mulai, ini ikut mendorong terutama dari konsumsi pemerintah," katanya.
Selain itu, konsumsi rumah tangga juga dapat mendorong pertumbuhan karena kontribusinya yang relatif stabil dibandingkan investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang mulai mengalami penurunan sejak awal tahun.
"Konsumsi rumah tangga kami perkirakan masih stabil karena ada event-event, tahun ini kan banyak (persiapan) pilkada, hari keagamaan, hari-hari besar yang memerlukan konsumsi," ujarnya.
Suryamin juga menambahkan sektor ekspor juga berpeluang memberikan kontribusi pada pertumbuhan asalkan permintaan global menguat dan harga komoditas membaik.
"Kalau impor, asalkan impor barang modal, itu akan baik untuk menambah investasi yang sekarang melambat," katanya.
Dengan demikian, menurut dia, masih ada peluang bagi pemerintah untuk mempertahankan angka pertumbuhan ekonomi pada kisaran enam persen, meskipun pencapaian 6,3 persen sulit untuk tercapai.
Suryamin mengatakan angka pertumbuhan yang tercatat hingga pertengahan tahun 2013 sebesar 5,92 persen, masih lebih baik dari rata-rata negara maju lainnya yang saat ini mengalami perlambatan ekonomi.
"Dibandingkan negara lainnya, pertumbuhan ekonomi masih tergolong bagus. Dengan realisasi angka ini, kami memberikan gambaran kepada pemerintah untuk membuat kebijakan dalam dua triwulan berikutnya," ujarnya.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Suhariyanto menambahkan investasi sulit untuk menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi tahun ini, karena mulai terjadi penurunan impor barang modal cukup signifikan.
Untuk itu, sebagai upaya mendorong nilai investasi terutama modal asing, dibutuhkan pembenahan iklim investasi agar birokrasi menjadi lebih efisien dan sarana infrastruktur lebih memadai.
"Iklim investasi harus dibangun bersama, ini bukan hanya efisiensi perijinan agar tidak berbelit-belit, tapi juga ada pembenahan infrastruktur dasar," kata Suhariyanto.
Sedangkan, Ekonom Bank Danamon Dian Ayu Yustina memprediksi pertumbuhan ekonomi pada 2013 hanya mencapai angka 5,88 persen (yoy) karena terjadi perlambatan dari segi konsumsi.
"Laju inflasi yang cenderung bergelombang akan mempengaruhi daya beli, dan memperlambat konsumsi rumah tangga secara signifikan," katanya.
Ayu menjelaskan konsumsi dapat sedikit meningkat menjelang Lebaran karena adanya permintaan musiman, serta persiapan untuk penyelenggaraan pemilihan umum menjelang akhir tahun.
"Pertumbuhan di triwulan IV dapat sedikit pulih karena meningkatnya pengeluaran dalam persiapan untuk pemilihan umum dapat memberikan dorongan kepada permintaan domestik," ujarnya.
Ayu mengatakan perlambatan ekonomi ini dapat mempengaruhi kinerja pasar keuangan, sebagai konsekuensi dari meningkatnya laju inflasi di lingkungan eksternal yang lemah akibat krisis.
Untuk itu, ia memperkirakan, ada kemungkinan bank sentral akan kembali menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) sebagai pilihan terakhir untuk menekan inflasi, bila dampak kenaikan harga bensin masih terjadi hingga dua bulan mendatang.
Sementara, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Stefan Koeberle menambahkan Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan angka pertumbuhan lebih tinggi, asalkan segala potensi risiko dapat diminimalisasi.
Bank Dunia telah memproyeksikan adanya perlambatan dalam perekonomian Indonesia dan merevisi target pertumbuhan menjadi 5,9 persen, untuk itu pemerintah harus merespon dengan mengembangkan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
"Saat ini, pemerintah Indonesia sudah melakukan hal yang dibutuhkan untuk mempertahankan angka pertumbuhan di masa mendatang, namun tekanan yang berkembang harus dikendalikan secara hati-hati," kata Stefan.(S034)
Sanggupkah Pemerintah Atasi Perlambatan Ekonomi?
Senin, 12 Agustus 2013 0:03 WIB 1494