Lumbanjulu, Sumut, 12/5 (Antara) - Pekerjaan sebagai nelayan maupun penjala ikan "pora-pora" (sejenis ikan bilih) di Sungai Agadon, Desa Sibaruang, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, didominasi kaum perempuan.
"Sebagian besar kaum ibu di desa tersebut, sudah lebih sepuluh tahun menggeluti profesinya sebagai nelayan," kata Staf Strengthening Community Based Forest and Water Management (SCBFWM) Kemenhut Republik Indonesia, Rosmelina Sinaga di Lumbanjulu, Minggu.
Ia menjelaskan, dengan menggunakan jala ataupun bubu mereka bisa memperoleh sekitar 20 kilo gram (kg) ikan pora-pora dengan harga jual di tingkat pedagang pengumpul ditawarkan rata-rata Rp3.500 per kg.
Ikan bilih atau pora-pora (Mystacoleucus padangensis), populasinya cukup banyak di sungai yang bermuara ke perairan Danau Toba itu.
Aktivitas menjala ikan di Sungai Agadon biasanya dilakukan kaum perempuan di wilayah itu mulai pukul 18.00 hingga 23.00 WIB.
Sedangkan pada pagi hingga menjelang sore hari mereka umumnya mengurus pekerjaan rutin di rumah dan dilanjutkan dengan mengelola lahan pertanian.
"Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dalam membantu suami, mereka harus bekerja keras mulai matahari terbit sampai tengah malam dengan menjala ikan pora-pora," tuturnya.
Jika dicermati, menurut Rosmelina, tingkat kesejahteraan nelayan di desa tersebut, masih relatif rendah.
Menurut Rosemelina, banyak warga desa yang semula menekuni usaha tani beralih profesi menjadi nelayan pora-pora, sebab pekerjaan tersebut dinilai lebih menguntungkan, meski akhirnya banyak di antara mereka menyesal telah menelantarkan lahan pertaniannya.
"Apalagi jika dibandingkan para petani dari desa berdekatan, yang berhasil memanen komoditi coklat dengan masa tanam yang bersamaan," tambahnya.
Menyiasati kondisi tersebut, kata dia, program pemberdayaan masyarakat dibantu SCBFWM mencoba membuka alur berfikir masyarakat, untuk bekerja lebih kreatif dalam mengelola lahan milik mereka demi suksesi lingkungan alam.
Dia berharap para nelayan perempuan itu bisa lebih fokus untuk memberikan kontribusi di lahan miliknya, sebab jika mereka tidak menanam tanaman kayu di sekitar daerah aliran sungai (DAS), maka ikan-ikan yang ditangkap sekarang tidak akan beregenerasi karena bantaran sungai akan rusak.
Diakuinya, sejak diluncurkannya program SCBFWM, pendapatan kelompok tani "Pea Nauli" Desa Sibaruang semakin meningkat.
Pada tahun 2010, kata dia, banyak warga di wilayah itu belum memiliki fasilitas pendukung berupa kapal (solu) dan sulangat (jaring apung) untuk mencari ikan di Danau Toba.
Namun sejak diberi arahan dan didampingi para relawan SCBFWM, kini sudah banyak kaum perempuan di sekitar Daerah Aliran Sungai Agadon memiliki solu dan jaring apung.
Sebagian besar kaum perempuan yang sebelumnya berprofesi sebagai nelayan di Danau Toba itu, kini telah memiliki lebih banyak waktu berkumpul di rumah bersama keluarga mereka.
Komoditi ikan hasil tangkapan sekarang sudah dibagi tiga, dengan porsi masing-masing sebesar 50 persen diberikan kepada pekerja jasa menangkap, 25 persen diserahkan ke kas kelompok untuk biaya perawatan jaring, dan 25 persen sisanya keperluan pembayaran rekening listrik.
"Kami berharap, kelompok nelayan tersebut bisa terus berkembang, meskipun pada suatu waktu tidak lagi didampingi SCBFWM," ujar Rosmelina.(KR-JRD)