Ekonom Universitas Sumatera Utara (USU) Wahyu Ario Pratomo mendukung rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian agar koperasi benar-benar bermanfaat bagi masyarakat khususnya rakyat kecil.
"Saya rasa sikap pemerintah itu sudah benar," ujar Wahyu kepada ANTARA di Medan, Senin.
Menurut dia, revisi UU tersebut merupakan sesuatu yang penting. Wahyu melanjutkan, setidak-tidaknya ada dua kebijakan baru yang seharusnya tercantum dalam Undang-undang Perkoperasian hasil revisi.
Pertama, sejalan dengan apa yang pernah disampaikan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, adalah keberadaan pengawas independen untuk memonitor operasional koperasi.
Selama ini, pengawasan koperasi hanya dilakukan secara internal sesuai Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian yang menyatakan bahwa "Pengawas dipilih dari dan oleh anggota koperasi dan rapat anggota".
Lalu kedua, Wahyu mengusulkan supaya koperasi simpan pinjam memiliki batasan jumlah nasabah dan total uang yang dikelola.
"Kalau sudah mencapai nilai tertentu, misalnya, maka tidak boleh lagi berstatus koperasi. Mungkin bisa menjadi bank karena koperasi ini skalanya, kan, mikro, kecil, untuk rakyat. Selain itu pengelolanya juga mesti masyarakat, bukan perusahaan," kata dia.
Wahyu menegaskan, kasus koperasi simpan pinjam Indosurya, yang disebut-sebut merugikan lebih dari 20 ribu nasabah senilai total ratusan triliun rupiah, tidak boleh terulang kembali.
"Koperasi tidak bisa lagi dikelola perusahaan profesional dan berkedok investasi. Saya berharap koperasi kembali berperan penting untuk perekonomian masyarakat, bukan untuk kelompok tertentu," tutur dia.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sempat menyampaikan bahwa persoalan pengawasan menjadi salah satu kelemahan Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 tahun 1992.
Hal tersebut membuat banyak koperasi yang bermasalah karena lemahnya pengawasan, terutama koperasi simpan pinjam. Anggota mereka tidak jarang gagal bayar yang membuat operasional koperasi terhambat.
Selain itu, Teten menambahkan, terjadi tren para pebisnis kotor turut mendirikan koperasi untuk kepentingannya sendiri.
"Banyak pelaku kejahatan perbankan mendirikan koperasi. Mereka membuat koperasi menjadi bisnis uang, bukan lagi untuk membantu usaha-usaha mikro dalam membiayai modal kerja," ujar Teten.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023
"Saya rasa sikap pemerintah itu sudah benar," ujar Wahyu kepada ANTARA di Medan, Senin.
Menurut dia, revisi UU tersebut merupakan sesuatu yang penting. Wahyu melanjutkan, setidak-tidaknya ada dua kebijakan baru yang seharusnya tercantum dalam Undang-undang Perkoperasian hasil revisi.
Pertama, sejalan dengan apa yang pernah disampaikan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, adalah keberadaan pengawas independen untuk memonitor operasional koperasi.
Selama ini, pengawasan koperasi hanya dilakukan secara internal sesuai Pasal 38 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian yang menyatakan bahwa "Pengawas dipilih dari dan oleh anggota koperasi dan rapat anggota".
Lalu kedua, Wahyu mengusulkan supaya koperasi simpan pinjam memiliki batasan jumlah nasabah dan total uang yang dikelola.
"Kalau sudah mencapai nilai tertentu, misalnya, maka tidak boleh lagi berstatus koperasi. Mungkin bisa menjadi bank karena koperasi ini skalanya, kan, mikro, kecil, untuk rakyat. Selain itu pengelolanya juga mesti masyarakat, bukan perusahaan," kata dia.
Wahyu menegaskan, kasus koperasi simpan pinjam Indosurya, yang disebut-sebut merugikan lebih dari 20 ribu nasabah senilai total ratusan triliun rupiah, tidak boleh terulang kembali.
"Koperasi tidak bisa lagi dikelola perusahaan profesional dan berkedok investasi. Saya berharap koperasi kembali berperan penting untuk perekonomian masyarakat, bukan untuk kelompok tertentu," tutur dia.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sempat menyampaikan bahwa persoalan pengawasan menjadi salah satu kelemahan Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 tahun 1992.
Hal tersebut membuat banyak koperasi yang bermasalah karena lemahnya pengawasan, terutama koperasi simpan pinjam. Anggota mereka tidak jarang gagal bayar yang membuat operasional koperasi terhambat.
Selain itu, Teten menambahkan, terjadi tren para pebisnis kotor turut mendirikan koperasi untuk kepentingannya sendiri.
"Banyak pelaku kejahatan perbankan mendirikan koperasi. Mereka membuat koperasi menjadi bisnis uang, bukan lagi untuk membantu usaha-usaha mikro dalam membiayai modal kerja," ujar Teten.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023