Penjual pakaian di Medan resah lantaran dagangan mereka sulit laku meski Lebaran 2023 akan tiba hanya dalam 11 hari ke depan.
"Saya pusing, pembeli sepi," ujar pedagang pakaian, Riri, kepada ANTARA di Pasar Petisah Medan, Selasa.
Riri gelisah lantaran dirinya sulit meraup omzet maksimal. Padahal, Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah tinggal menghitung hari.
Setiap harinya, dia melanjutkan, dirinya hanya mampu meraup omzet maksimal Rp5 juta sehari.
Padahal, pada waktu yang sama sebelum pandemi COVID-19, Riri mampu mendapatkan omzet Rp15 juta sampai Rp20 juta per hari.
"Saya jadi bingung bagaimana harus membiayai perawatan dan penyewaan toko, juga menggaji pegawai," kata Riri.
Pedagang pakaian lain, Amiruddin, bahkan menyebut bahwa dirinya mengalami stres karena penurunan ozmet yang signifikan.
Tahun 2022, misalnya, dia mengaku mampu mendapatkan omzet Rp10 juta saat mendekati Lebaran.
"Sekarang sepi, hanya sepertiganya saja," tutur Amiruddin.
Terkait hal itu, pengamat ekonomi dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Gunawan Benjamin menilai bahwa sepinya pembeli pakaian baru bisa menjadi gejala penurunan daya beli masyarakat.
Jika penjualan pakaian sepi, Gunawan melanjutkan, itu berarti masyarakat tidak memiliki dana lebih untuk membeli barang-barang sekunder.
Menurut dia, kondisi tersebut dapat menggambarkan bahwa masyarakat bekerja keras memenuhi kebutuhan pokok mereka dan tidak menyisakan ruang untuk hal-hal di luar itu.
"Ketika berkutat pada konsumsi pangan sehari-hari dan mengurangi belanja pakaian, jelas ada tanda-tanda penurunan daya beli," ujar Gunawan.
Dia pun meminta pemerintah daerah di Sumatera Utara untuk mewaspadai gejala-gejala tersebut.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023
"Saya pusing, pembeli sepi," ujar pedagang pakaian, Riri, kepada ANTARA di Pasar Petisah Medan, Selasa.
Riri gelisah lantaran dirinya sulit meraup omzet maksimal. Padahal, Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah tinggal menghitung hari.
Setiap harinya, dia melanjutkan, dirinya hanya mampu meraup omzet maksimal Rp5 juta sehari.
Padahal, pada waktu yang sama sebelum pandemi COVID-19, Riri mampu mendapatkan omzet Rp15 juta sampai Rp20 juta per hari.
"Saya jadi bingung bagaimana harus membiayai perawatan dan penyewaan toko, juga menggaji pegawai," kata Riri.
Pedagang pakaian lain, Amiruddin, bahkan menyebut bahwa dirinya mengalami stres karena penurunan ozmet yang signifikan.
Tahun 2022, misalnya, dia mengaku mampu mendapatkan omzet Rp10 juta saat mendekati Lebaran.
"Sekarang sepi, hanya sepertiganya saja," tutur Amiruddin.
Terkait hal itu, pengamat ekonomi dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Gunawan Benjamin menilai bahwa sepinya pembeli pakaian baru bisa menjadi gejala penurunan daya beli masyarakat.
Jika penjualan pakaian sepi, Gunawan melanjutkan, itu berarti masyarakat tidak memiliki dana lebih untuk membeli barang-barang sekunder.
Menurut dia, kondisi tersebut dapat menggambarkan bahwa masyarakat bekerja keras memenuhi kebutuhan pokok mereka dan tidak menyisakan ruang untuk hal-hal di luar itu.
"Ketika berkutat pada konsumsi pangan sehari-hari dan mengurangi belanja pakaian, jelas ada tanda-tanda penurunan daya beli," ujar Gunawan.
Dia pun meminta pemerintah daerah di Sumatera Utara untuk mewaspadai gejala-gejala tersebut.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2023