Pemerintah diharapkan membatalkan kebijakan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada harga sembilan bahan pokok untuk menghindari lonjakan harga berbagai barang mulai tahun ini.
"Pengenaan PPN apalagi cukup besar yakni 12 persen dapat dipastikan akan menaikkan harga jual barang. Kenaikan bahkan akan terjadi mulai tahun ini, meski pengenaan PPN direncanakan mulai tahun depan atau 2022," ujar pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara, Wahyu Ario Pratomo di Medan, Senin (21/6).
Kenaikan harga barang itu sendiri akan berdampak terhadap pengurangan daya beli masyarakat, khususnya pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin.
Baca juga: DPRD Kota Medan: Pemulihan ekonomi jadi prioritas
Padahal, kata Wahyu yang Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU itu, perekonomian masyarakat masih belum normal akibat terpuruk sebagai dampak pandemi COVID-19.
"Dengan kondisi perekonomian yang masih belum pulih seutuhnya, dan ketidakpastian dalam pemulihan ekonomi nasional, maka PPN bahan pokok dapat menyebabkan kesejahteraan masyarakat berkurang khususnya bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin," katanya.
Bahan pokok itu sendiri merupakan barang yang paling dibutuhkan masyarakat di seluruh jenjang kehidupan, baik kelompok masyarakat miskin hingga kelompok kaya.
Baca juga: BI prediksi pertumbuhan ekonomi Sumut pada triwulan II meningkat
"Pengenaan PPN terhadap sembako sangat bertentangan dengan tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD45 alinia ke-4 yaitu memajukan kesejahteraan umum," ujar Wahyu.
Wahyu mengakui, pemerintah memiliki beban penerimaan dan belanja pemerintah yang semakin berat.
Target penerimaan negara sulit untuk dipenuhi karena sektor ril masih belum pulih seutuhnya, sementara itu belanja pemerintah masih cukup tinggi khususnya untuk program pemulihan ekonomi nasional yang harus dijalankan guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Walau begitu, pemerintah jangan membuat PPN terhadap bahan pokok. Pemerintah harus lebih kreatif dalam mencari sumber penerimaan baru," katanya.
Menurut Wahyu, pemerintah akan lebih baik menetapkan atau menaikkan PPN barang-barang dan jasa yang dikonsumsi kelompok masyarakat berpenghasilan atas dan juga barang mewah.
Pemerintah, katanya, bisa meninjau ulang pajak kendaraan bermotor (PKB) yang masih cukup potensial, mengingat banyak kelompok masyarakat di Indonesia yang memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu.
Banyaknya kelompok masyarakat di Indonesia yang memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu mengindikasikan pajak progresif yang diterapkan masih belum optimal.
"Dengan kenaikan PKB, pemerintah pusat dapat mengurangi dana transfer ke daerah, dan mulai memberikan tanggung jawab kepada daerah untuk mengelola keuangan daerahnya secara mandiri, " katanya.
Dana transfer ke daerah yang terus meningkat, katanya menjadi salah satu yang memberatkan fiskal pemerintah.
"Yang pasti, pemerintah jangan membuat PPN terhadap bahan pokok," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021
"Pengenaan PPN apalagi cukup besar yakni 12 persen dapat dipastikan akan menaikkan harga jual barang. Kenaikan bahkan akan terjadi mulai tahun ini, meski pengenaan PPN direncanakan mulai tahun depan atau 2022," ujar pengamat ekonomi dari Universitas Sumatera Utara, Wahyu Ario Pratomo di Medan, Senin (21/6).
Kenaikan harga barang itu sendiri akan berdampak terhadap pengurangan daya beli masyarakat, khususnya pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin.
Baca juga: DPRD Kota Medan: Pemulihan ekonomi jadi prioritas
Padahal, kata Wahyu yang Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USU itu, perekonomian masyarakat masih belum normal akibat terpuruk sebagai dampak pandemi COVID-19.
"Dengan kondisi perekonomian yang masih belum pulih seutuhnya, dan ketidakpastian dalam pemulihan ekonomi nasional, maka PPN bahan pokok dapat menyebabkan kesejahteraan masyarakat berkurang khususnya bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin," katanya.
Bahan pokok itu sendiri merupakan barang yang paling dibutuhkan masyarakat di seluruh jenjang kehidupan, baik kelompok masyarakat miskin hingga kelompok kaya.
Baca juga: BI prediksi pertumbuhan ekonomi Sumut pada triwulan II meningkat
"Pengenaan PPN terhadap sembako sangat bertentangan dengan tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD45 alinia ke-4 yaitu memajukan kesejahteraan umum," ujar Wahyu.
Wahyu mengakui, pemerintah memiliki beban penerimaan dan belanja pemerintah yang semakin berat.
Target penerimaan negara sulit untuk dipenuhi karena sektor ril masih belum pulih seutuhnya, sementara itu belanja pemerintah masih cukup tinggi khususnya untuk program pemulihan ekonomi nasional yang harus dijalankan guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Walau begitu, pemerintah jangan membuat PPN terhadap bahan pokok. Pemerintah harus lebih kreatif dalam mencari sumber penerimaan baru," katanya.
Menurut Wahyu, pemerintah akan lebih baik menetapkan atau menaikkan PPN barang-barang dan jasa yang dikonsumsi kelompok masyarakat berpenghasilan atas dan juga barang mewah.
Pemerintah, katanya, bisa meninjau ulang pajak kendaraan bermotor (PKB) yang masih cukup potensial, mengingat banyak kelompok masyarakat di Indonesia yang memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu.
Banyaknya kelompok masyarakat di Indonesia yang memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu mengindikasikan pajak progresif yang diterapkan masih belum optimal.
"Dengan kenaikan PKB, pemerintah pusat dapat mengurangi dana transfer ke daerah, dan mulai memberikan tanggung jawab kepada daerah untuk mengelola keuangan daerahnya secara mandiri, " katanya.
Dana transfer ke daerah yang terus meningkat, katanya menjadi salah satu yang memberatkan fiskal pemerintah.
"Yang pasti, pemerintah jangan membuat PPN terhadap bahan pokok," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2021