Ketua Komite Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan, Indonesia darurat kekerasan terhadap anak, padahal anak harus dilindungi oleh siapapun, karena anak tidak bisa melindungi dirinya sendiri.

“Kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat, termasuk kejahatan seksual,” katanya.

Hal itu ia sampaikan dalam seminar sehari bertajuk, gerakan memutus mata rantai kekerasan terhadap anak dan perempuan, yang digelar Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu, Senin di Gedung Nasional Jalan Ahmad Yani Rantauprapat.

Data yang dikumpulkan dan dianalisis Pusat Data dan Informasi atau Pusdatin Komnas Anak mencatat 216.897 kasus pelanggaran hak anak yang dimonitor Komnas Anak dari berbagai lembaga peduli anak di 34 provinsi dan 279 kabupaten/kota.

Sebanyak 58 persen merupakan kasus kejahatan seksual. Selebihnya adalah kasus kekerasan fisik, penelantaran, penculikan, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak (chlid trafficking) untuk tujuan eksploitasi seksual komersial serta kasus-kasus perebutan anak.

Kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perbuatan atau tindakan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikis/mental/emosi dan penelantaran termasuk pemaksaan dan merendahkan martabat anak.

Dari data kejahatan seksual yang dilaporkan ke Komnas Anak, tahun 2013 sebanyak 2.046 kasus, 859 (42 persen) di antaranya kejahatan seksual. Tahun 2014, bertambah menjadi 2.426 kasus, 1.407 (58 persen) kejahatan seksual. Tahun 2015 menjadi 2.637 kasus, 1.634 (62 persen) kejahatan seksual.

Kemudian tahun 2016 menjadi 3.339 kasus, 2.070 (52 persen) kejahatan seksual, dan tahun 2017 sebanyak 3.726 kasus, 42 persen kejahatan seksual dan tahun 2018 hingga Juni ada 879 kasus, 51 persen kejahatan seksual, 237 kasus di antarnya pelakunya anak di bawah 14 tahun.

"Delapan puluh dua persen korban berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah, dan dari 10 kejahatan seksual itu 6 incest (hubungan sedarah)," ungkap Arist.

Arist Merdeka Sirait menjabarkan, sekolah adalah zona aman dalam arti sebenarnya, jauh dari tindak perundangan/bulying atau dari tindak kekerasan apapun.

Komite sekolah yang merupakan perwakilan orangtua murid dan pihak sekolah harus difungsikan optimal, menangani permasalahan antara murid, juga antara murid dengan guru serta semua permasalahan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar.

"Guru harus bertindak sebagai pengajar dan sekaligus pendidik yang mengedepankan metode dialogis dan partisipatif," ujarnya.

Dampak kekerasan terhadap anak, pada fisik mengakibatkan luka hingga meninggal dunia. Dampak pada psikis, mengakibatkan takut, cemas, sulit makan dan gangguan tidur dan lain-lain.

Perkembangan secara emosional terganggu, kognitif, moral, prestasi akademik rendah, tidak kreatif, tidak produktif. Gangguan perilaku: cemas, depresi, tidak percaya diri, merasa bersalah, agresif, psikopat dan menjadi calon pelaku kekerasan atau kriminal.
 

Pewarta: Kurnia Hamdani

Editor : Juraidi


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2019