Medan (ANTARA) - Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Ranperda KTR) Kota Medan menuai banyak penolakan dari masyarakat.
Hal ini tidak terlepas dari keberadaan pasal-pasal seperti penerapan zonasi larangan penjualan produk tembakau 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, larangan pemajangan produk, larangan reklame hingga perluasan kawasan tanpa rokok yang dinilai membebani kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
Apalagi pasca bencana yang melanda, keberadaan rancangan peraturan yang menekan seperti ini dikhawatirkan justru sia-sia.
Kekhawatiran ini diutarakan Farhan Rizky, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Sumatera Utara (USU) yang menilai bahwa Ranperda KTR Kota Medan dengan berbagai larangan penjualan, pemajangan, larangan reklame serta perluasan kawasan tanpa rokok berisiko menjadi kebijakan yang tidak bisa dilaksanakan.
Bahkan proyeksinya, Ranperda KTR Kota Medan ini bisa memicu gesekan antara aparat penegak hukum, pedagang kecil, dan masyarakat.
"Ranperda KTR yang tujuan awalnya adalah demi kesehatan publik, justru bisa menjadi sumber konflik akibat berbagai pelarangan di dalamnya. Dengan kondisi ini, Ranperda KTR Kota Medan bisa dikatakan belum memenuhi aspek kelayakan jika dinilai dari kriteria kebijakan publik," tegas Farhan.
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU ini menerangkan bahwa apabila sejak awal suatu regulasi tidak menunjukkan peluang untuk memenuhi aspek kelayakan implementasi, misalnya karena ketentuan yang terlalu ketat, tidak proporsional, atau tidak sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat—maka, besar kemungkinan kebijakan tersebut akan menimbulkan konsekuensi negatif dalam pelaksanaannya.
Oleh karena itu, dalam ranah kebijakan publik, Farhan menilai Ranperda KTR Kota Medan dengan berbagai pasal pelarangan yang tidak implementatif perlu dikaji ulang.
"Ranperda KTR ini perlu dikaji ulang agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya baik secara normatif, tetapi juga layak dan dapat diterapkan secara efektif di lapangan. Saya menyarankan agar pembuat kebijakan merevisi pasal-pasal pelarangan yang tidak implementatif. Dan, wajib mengakomodasi masukan masyarakat melalui dialog kebijakan yang inklusif, menggunakan pendekatan keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan keberlangsungan ekonomi masyarakat," jelas Farhan.
Ia menekankan, pada hakikatnya sebuah kebijakan publik yang baik bukan hanya tegas, tetapi juga efektif, adil, konsisten, dan dapat dilaksanakan. Jangan sampai Ranperda KTR menjadi regulasi yang mustahil dilaksanakan dan malah mengganggu ekosistem ekonomi lokal yang meliputi pedagang kecil, distributor, pemasok, UMKM, dan tenaga kerja informal.
"Harus bijak dan hati-hati dalam menyusun Ranperda KTR Kota Medan karena bisa berujung pada meningkatnya konflik sosial dan menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah akibat regulasi yang tidak realistis. Publik merasa kebijakan dibuat tanpa memahami kondisi masyarakat dan muncul kesan pemerintah tidak peka dengan kondisi masyarakat," tambahnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DPD Kota Medan meminta DPRD Kota Medan untuk untuk fokus membantu pedagang di tengah situasi sulit yang dialami.
Secara khusus, APPSI DPD Kota Medan menyoroti Ranperda KTR yang justru berisiko menindas pada pedagang. Muhammad Siddiq, Ketua Umum APPSI DPD Kota Medan menekankan bahwa pasal-pasal pelarangan dalam Ranperda KTR Kota Medan dikhawatirkan akan menjadi beban bagi pedagang pasar.
Terutama menyangkut pasal pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak hingga perluasan kawasan tanpa rokok di tempat-tempat umum termasuk pasar.
"Pasal pelarangan penjualan radius 200 meter, larangan pemajangan, dan bahkan perluasan kawasan tanpa rokok di tempat umum termasuk pasar, sangat memberatkan pedagang. Mustahil bisa diterapkan. Jangan sampai justru larangan-larangan ini membuka ruang penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum di lapangan, dan makin menyulitkan pedagang yang sedang kena musibah banjir," tegas Siddiq.
