Tapanuli Selatan (ANTARA) - Ketua DPW Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumatera Utara Hendra Hasibuan menegaskan negara harus hadir menjamin kembali kehidupan yang layak bagi korban banjir akibat bencana ekologi, bukan sekadar hadir untuk pencitraan.
Pernyataan tertulis tersebut di sampaikannya, Rabu dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM), sekaligus sebagai kritik atas dinilai lemahnya respons pemerintah dalam menangani banjir berulang di wilayah Sumatera.
Menurut Hendra, bencana banjir yang terus terjadi tidak dapat dipandang sebagai peristiwa alam semata, melainkan akibat akumulasi kerusakan lingkungan, khususnya pembiaran terhadap perusakan hutan dan ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkendali.
Ia menilai kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin terkikis akibat penanganan bencana yang dinilai lamban, tidak berbasis data ilmiah, dan tidak menyentuh akar persoalan ekologis.
“Negara seolah hanya hadir untuk menetapkan status darurat, tanpa langkah strategis jangka panjang untuk memulihkan ekosistem dan menjamin keselamatan warga,” ujar Hendra.
Ia menambahkan lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi perkebunan sawit turut memperparah kerusakan ekologis, terutama di kawasan hulu yang selama ini berfungsi sebagai penyangga air.
Hendra juga menyoroti dampak sosial pascabanjir, di mana banyak masyarakat kehilangan tempat tinggal, sumber penghidupan, serta akses terhadap air bersih, sehingga memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi.
“Rakyat menderita berkali-kali, sementara korporasi besar tetap beroperasi tanpa pengawasan ketat,” katanya.
SHI Sumatera Utara mendesak pemerintah melakukan audit lingkungan menyeluruh, menghentikan izin yang melanggar tata ruang, serta menegakkan hukum tanpa kompromi terhadap perusahaan yang terbukti merusak lingkungan.
Ia menegaskan masa depan keselamatan ekologis Sumatera sangat bergantung pada keberanian politik pemerintah untuk berpihak pada rakyat dan kelestarian lingkungan.
